Dua tahun lalu, terakhir kalinya saya membaca novel pakcik
Andrea yaitu dwilogi Padang Bulan. Dan sungguh sayang, saya gagal
menyelesaikannya. Buat saya, dwilogi Padang Bulan dan novel sebelumnya Maryamah
Karpov, tidak berhasil memberi kesan yang sama dengan saat melahap trilogi
sebelumnya : Laskar Pelangi, Sang Pemimpi dan Edensor. Mungkin, ketika itu
Andrea tengah kehilangan separuh energi dan mood-nya, atau mungkin juga karena
ia tak lagi memperuntukkan kedua novel itu untuk guru tersayangnya, Wallahu
alam. Ya. Melakukan dan mempersembahkan sesuatu untuk seseorang yang kita sayangi,
tak dipungkiri adalah salah satu motivasi terbesar. Bahkan tak jarang, dalam
menempuhnya kita terseret dalam arus kegilaan tanpa kita menyadarinya.
Inilah yang kemudian saya rasakan saat membaca novel teranyar
beliau tahun ini. Meskipun berjudul Ayah, nyaris separuh novel ini justru
bercerita tentang rentetan “kegilaan” yang berlandaskan ketergila-gilaan akibat
cinta amore. Cinta antara pria dan wanita yang sayangnya hanya bertepuk sebelah
tangan. Cinta sang tokoh sentralnya Sabari
kepada Marlena. Cinta yang sanggup mendorong Sabari melakukan apa saja bahkan
hal terabsurd sekalipun, bahkan hingga sang tokoh sendiri pun sudah mencapai
level tiga perempat gila.
Memang, dalam novel inipun kita akan menjumpai kisah akan
hubungan kasih sayang ayah dan anak, serta bakti sang anak kepada ayahnya. Walaupun
porsinya tidak terlalu besar, namun dengan kepiawaian penuturannya Andrea
berhasil membuat kisah yang tak terlalu besar ini menjelma lebih besar dalam
benak dan ingatan pembaca.
Pada bab-bab awal, Andrea memperkenalkan satu demi satu
tokoh novel ini dengan gaya tuturnya yang khas dan alur yang maju mundur. Dan saya
setuju dengan pendapat rekan saya Arul Chandrana, bahwa lembar pertama novel ini
ditulis dengan sangat baik, dan boleh jadi, akan menjadi lembar favorit saya
juga dari lembar-lembar perdana novel-novel yang sudah saya baca tahun ini.
kenapa ini caption nya jadi horizontal padahal udah diedit vertikal? :) |
Di sini, selain Sabari dan Marlena, kita akan diajak
berkenalan dengan tokoh-tokoh lainnya seperti dua sahabat Sabari : Ukun dan
Tamat, Izmi sang secret admirer, Zuraida sang sahabat Marlena, Zorro anak
Marlena, sepasang kucing bernama Abu Meong dan Marleni, dan lain-lain. Masing-masing
tokoh tampil dengan peran dan fungsinya yang memberi kontribusi terhadap
keutuhan cerita. Baik yang berperan penting dalam plot utama, yang hadir untuk
memperjelas misi cerita, ataupun yang hanya sekadar numpang lewat dalam
lintasan kehidupan tokoh-tokoh utamanya.
Seperti novel-novel sebelumnya, di sini Andrea kembali
memamerkan kepiawaiannya dalam mengolah cerita yang mengombinasikan kelucuan
nan hiperbolis dengan kesedihan dan ketragisan. Sedikit banyak tuturnya
mengingatkan saya pada film-film India minus tarian. Yup. Nyaris semua film India
yang pernah saya tonton selalu mempertontonkan kesedihan, ketragisan dan
hal-hal konyol yang kadang memancing tawa tetapi kadang juga banyak lebaynya. Apakah
Andrea juga penggemar film-film India? Entahlah. Yang jelas, banyak adegan
filmis dalam novel ini yang sepertinya akan terlihat menarik jika divisualisasikan.
Dan kombinasi inilah yang juga berhasil membuat saya tertawa
terpingkal-pingkal dan mengeluarkan air mata berganti-ganti sepanjang menghabiskan
novel ini. Harus saya akui, baru karya Andrea Hirata yang berhasil memancing ekspresi
spontan saya dalam kadar yang seperti ini. Biasanya, selucu-lucunya sebuah
novel komedi, saya hanya bisa tersenyum lebar, dan setragis-tragisnya sebuah
novel drama, saya hanya bisa berkaca-kaca (pengecualian untuk A Thousand
Splendid Sun yang surat sang ayah di bab-bab akhir berhasil membuat air mata
saya mengalir deras).
Tapi, tentu saja itu bukan faktor utama yang membuat Andrea
Hirata masuk dalam daftar penulis favorit saya, melainkan juga segenap keunikan
dan ciri khas yang ada pada karya-karyanya. Bagaimana “seni” Andrea dalam mentertawakan
kesedihan, mendeskripsikan hal-hal yang hiperbolis bahkan absurd dengan cara
yang menyenangkan, juga kepolosan yang berpadu dengan kecerdasan dalam
mendeskripsikan apa yang hendak ia sampaikan.
Lalu, adakah complain saya untuk novel ini? Ada.
Pada Bab Cita-cita Izmi dan Amiru, kedua tokoh ini hadir
berdampingan. Padahal pada bab-bab lainnya, tokoh Izmi hadir dalam kehidupan
tokoh Sabari, dan Amiru adalah sosok yang hadir pada alur waktu yang lebih
kini. Apakah tersalah ketik? Atau memang
demikian adanya? Saya juga masih bertanya-tanya akan sosok Izmi yang sejak
awal terlihat cukup penting hingga saya sempat mengira kalau Izmi-lah yang menulis
surat balasan untuk Sabari, tetapi makin ke belakang makin mengabur. Tokoh Izmi
adalah tokoh yang statis, dari semula yang seorang secret admirer dan
terinspirasi dari Sabari, sampai selanjutnya pun tetap begitu.
Saya tidak akan mempersoalkan ke-absurd-an bagian kisah
surat Sabari yang “dititipkan” pada penyu lalu sang penyu terdampar di
Australia (dari Belitong ke Australia? Hmm). Mungkin Andrea memang sedang ingin
melucu, atau mungkin sedang tidak menemukan ide lain untuk menghubungkan rasa
kehilangan Sabari dengan kehilangan yang dialami sosok tua Pak Niel.
Sebenarnya saya berharap Andrea akan lebih banyak
mengeksplor kisah-kisah humanis yang mengharu biru namun menyimpan makna,
seperti kisah perjuangan Amiru untuk menebus radio ayahnya di pegadaian (ini
bab favorit saya), tetapi Andrea seperti agak “terlena” dengan untaian kisah-kisah
yang konyol dan hiperbolis. Memang sih, sepertinya pembaca kita lebih
menyukai kisah-kisah dengan nuansa menghibur seperti ini. Ditambah lagi puisi
demi puisi Sabari turut memberi kesan “nyeni” pada novel ini.
sepertinya ada yang salah dengan lepi saya, sampe upload yang tegak bisa jadi miring begini :p |
Kejanggalan lainnya adalah saat Andrea mempertemukan
tokoh-tokoh cerita yang berbeda fragmen dan berbeda nama pada bab yang sama. Meskipun tokoh-tokohnya
adalah orang yang sama, namun Andrea sepertinya tidak mau bersusah payah
menjelaskan fakta tersebut. Bahkan dengan gampangnya menyebutkan nama mereka
yang berbeda itu pada adegan yang sama.
Terlepas dari beberapa kejanggalan di atas, novel ini cukup
mengembalikan kekuatan dan ciri khas Andrea Hirata yang (menurut saya) sempat memudar
pada novel-novel pasca Edensor. Novel ini juga memiliki pesan yang kuat akan cinta,
persahabatan dan kasih sayang tanpa pamrih, yang disampaikan dengan cara yang
unik lagi menghibur. Bagi teman-teman penggemar karya Andrea, atau yang belum
sama sekali pernah membacanya, novel ini layak kalian koleksi.
Judul : Ayah
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang Pustaka
Tebal : 412 hal
Tahun : 2015
mantap mantap mantaaaappp....
ReplyDeleteApa hubungan antara percintaan dengan AYAH ya? Harus beli nih
ReplyDeletemmm..jadi penasaran.. :)
ReplyDeletejadi pengen baca,,,
ReplyDeletesy sempat patah hati sm pakcik Andrea jg pas baca Dwilogi Padang Bulan dan Maryamah Karpov. Trus jadi ragu2 pas Ayah ini rilis. Tapi karena he's still my fav author, nungguin review dulu. dan akhirnya ... segera masuk list nih. Mudah-mudahan nggak mengecewakan Ayah ini. D thanks for review, mbak ...
ReplyDeleteOkelah... siap beli novel #Ayah
ReplyDeleteSaya juga udah baca mak....bikin berkaca-kaca...
ReplyDeleteAku belon punya n belon baca nih novel ini
ReplyDeleteAku belum satupun dr buku Andrea Hirata pernah kubaca mbak, hahaaa *tepok jidat.
ReplyDeleteMembaca resensi, jadi pengin beli buku Ayah :D
Belum baca maaak.... tapi thanks buat masukannya
ReplyDeleteMenurutku, sejak novel Padang Bulan, aku memang jadi TIDAK tertarik lagi, gak seperti menikmati kisah Laskar Pelangi
Yusi : pakcik ni tulisannya mank mantap ya :)
ReplyDeleteyervi : begitulah....pinter penulisnya meramunya :)
arinta, mbak santi : ayo dicoba :D
yeni : happy shopping
yurie : sama2, semoga Ayah nggak mengecewakan buat yuri :)
iyah mbak anita, bikin cry di bbrp bab
mbak ade : novel2 sebelumnya dari AH apa udah baca mbak?
mbak Eky : bukan seleranya mungkin ya, hehe
iya mbak Tanti, trilogi LP still the best of him
recomended ya... boleh dishare ya buat temen-temen http://www.aqiqohmandiri.com ? .. :)
ReplyDelete