Sobat
Nida, Pernikahan sering dianalogikan dengan bahtera atau kapal. Dengan
kepala keluarga atau sosok suami sebagai nakhodanya dan anggota keluarga
sebagai penumpangnya. Nakhoda harus tahu kemana arah tujuan, karena
dialah sang pemegang kemudi, dan memastikan diri mampu membawa semua
penumpang sampai ke tempat tujuan dengan selamat.
Apa
pun cobaan dan rintangan yang terjadi, jangan sampai membuat bahteranya
berhenti di tengah laut, karam, atau bahkan pecah berkeping-keping.
Beuh... Begitu pula para penumpangnya, seberat apa pun cobaan yang
menimpa, para penumpang harus tetap kompak dan mematuhi komando sang
nakhoda, kecuali kalau ternyata sang nakhoda melalaikan tanggung jawab
dan keselamatan penumpangnya.
Demikian
pulalah halnya dengan kehidupan berumah tangga. Ada banyak hal mungkin
terjadi di luar duga dan harapan. Di luar kehendak dan cita-cita.
Terkadang, perbedaan-perbedaan kecil saja bisa menjadi pemicu
perselisihan.
Diantara
Sobat Nida mungkin ada yang bertanya: kalau begitu, untuk
mengantisipasi munculnya riak dalam rumah tangga, apakah tidak sebaiknya
kita mengenali calon pasangan kita dengan proses penjajakan atau
pacaran terlebih dulu?
Ho-ho.
Please deh ah. Ini sama sekali bukan pembenaran buat sobat untuk
memilih cara yang “kurang tepat” sebelum menikah. Karena pacaran
bukanlah sebuah hubungan berasas komitmen. Pacaran lebih berpotensi
mendekatkan pada dosa bernama zina. Pacaran tak lebih hanya proses
coba-coba. Jika cocok, lanjutkan. Jika tidak, bubar tengah jalan.
Bahkan, ada yang lebih “gila” lagi, koleksi, seleksi, baru diperistri.
Hmm.
Lantas,
apa sebaiknya yang saya lakukan, sebagai persiapan untuk menghadapi
berbagai kemungkinan yang mungkin kurang menyenangkan andai nantinya
saya berumah tangga?
Pertama – berdoa dan berprasangka baiklah pada Allah.
Saat
sobat berdoa memohon disegerakan jodoh pada Sang Pencipta, iringi doa
itu dengan prasangka baik kepadaNya, bahwa Dia akan menyegerakan jodoh
yang terbaik bagi sobat. Sugesti positif insya Allah akan mendukung pola
pikir kita untuk memandang segala hal dari sudut pandang positif pula.
Jika kelak kita memperoleh pasangan hidup yang karakternya tidak kita
sukai, maka pandanglah itu sebagai jalan ibadah, jalan buat kita memupuk
keikhlasan menerima pasangan apa adanya, juga mencanang tekad untuk
terus belajar dan memperbaiki diri.
Kedua – bekali diri dengan ilmu pengetahuan.
Saat
sobat pergi ke toko buku, jangan sungkan untuk membeli buku-buku yang
membahas tentang pernikahan dan hidup berumah tangga meski sobat masih
berstatus lajang. Bertanyalah pada pasangan yang harmonis, apa rahasia
mereka sehingga kehidupan berumah tangga mereka tetap langgeng dan
baik-baik saja. Tapi, tentu saja kalau mereka tak keberatan membagi
rahasia mereka, ya? J
Ketiga - tingkatkan kualitas mental spiritual
Salah
satu benteng terbaik dalam menghadapi permasalahan hidup, adalah dengan
memiliki kualitas mental dan spiritual yang baik. Orang yang mental
spiritualnya baik, maka ia tak akan mudah putus asa dan mengeluh, ia
selalu memandang optimis bahwa setiap masalah pasti ada solusinya,
setiap penyakit pasti ada obatnya. Jadi, saat melihat kehidupan rumah
tangga orang lain yang dihantam gelombang badai, atau pun yang harus
berakhir di meja pengadilan agama, hal itu tidak lantas membuat kita
pesimis dan trauma, apalagi sampai memutuskan untuk tak akan menikah.
Teruslah memupuk keyakinan bahwa pernikahan adalah untuk menggenapkan
separuh agama. Pernikahan dan kehidupan berumah tangga adalah “sekolah”
terbaik untuk meningkatkan kemampuan beradaptasi, saling toleransi dan
menghargai, saling membimbing dan mengingatkan, saling berbagi kasih
sayang dibawah naungan ridhoNya.
Adakah
yang lebih indah dari sebuah proses yang dalam setiap detik dan
sentuhannya terdapat percikan rahmat dan keridhoan dari sang Maha
Pengasih?
Kutipan dari buku non fiksi saya, Sayap-sayap Sakinah, ditulis bersama Afifah Afra (Indiva Media Kreasi : 2013).
Foto Ilustrasi : google
No comments