Saya
pernah membaca resensi di blog seorang penulis, bahwa terhadap buku tertentu,
kita sebaiknya terlebih dulu mengosongkan ekspektasi kita sebelum membacanya
agar bisa menikmatinya dengan baik. Anjuran ini biasanya berlaku untuk
buku-buku yang penceritaannya di luar selera umum.
Sebelum
membaca novel Mitch Albom untuk pertama kalinya yang berjudul For One More Day,
saya sudah diberitahu sahabat saya mbak Dhani Pratiknyo kalau novel Mitch,
sedikit berbeda dari kebanyakan. Namun, di luar dugaan saya, tanpa harus
terlebih dulu mengosongkan gelas ekspektasi saya, saya langsung menyukai bahkan jatuh hati pada cara bercerita Mitch. Lebih dari itu, beberapa lembar
novel tersebut nyaris membuat air mata saya jatuh. Mitch berhasil membuat saya
terpukau oleh penceritaannya yang kuat tanpa harus mengandalkan diksi
yang berbunga-bunga dan kaya metafora, juga lewat cerita yang sebenarnya
berangkat dari ide yang sederhana : mengingatkan akan betapa besarnya
kasih sayang ibu.
Jadi,
saya pun tak merasa ragu saat membeli novel Mitch berikutnya yang berjudul The Five People
You Meet in Heaven. Saya ingin terlebih dulu mengomentari sampulnya. Jenis
sampul yang simple, bold, dan classic ini termasuk salah satu
favorit saya. Selain mewakili penceritaannya yang bernuansa dark, sampul yang terkesan elegan ini "pas" dengan
kebiasaan saya yang suka membaca buku dimana pun, jadi orang yang kebetulan melihat, mungkin tak akan menduga kalau saya sedang membaca sebuah fiksi. Beda saat
baca novel-novel lokal yang sampulnya selalu bergambar unyu-unyu, kelihatan
banget kalo saya lagi baca novel :D
Novel
ini berkisah tentang Eddie, seorang pria sepuh yang bekerja di taman hiburan
hampir sepanjang hidupnya, hingga ia merasa hidupnya seakan tak berguna dan
hanya terperangkap oleh rutinitas yang monoton. Eddie tewas pada ulang tahunnya
yang ke-83 saat mencoba menyelamatkan seorang gadis kecil dari wahana yang
rusak. Ketika terjaga, dia mendapatinya dirinya berada di alam baka. Dia bertemu
dengan lima orang yang telah menunggunya. Dari orang-orang inilah, Eddie
menyadari banyak hal yang tak ia ketahui selama hidupnya dan ternyata punya
hubungan dengan dirinya dan nasib yang menimpanya.
Seperti
juga novel For One More Day, novel ini kembali mengambil setting alam kematian.
Lalu menariknya maju mundur dengan tahap demi tahap saat Eddie berulang tahun,
diselingi peristiwa di dunia pasca kepergian Eddie.
Sejauh
ini, saya tak merasa berkeberatan menikmati absurditas yang ditawarkan Mitch.
Karena seiring dengan itu, Mitch menawarkan saya pengalaman membaca yang
berbeda dan menghadirkan perenungan dengan cara yang cukup mengasyikkan. Mitch
tidak menggiring pembaca untuk langsung menyetujui pemikirannya, tetapi
menghadirkan rangkaian peristiwa yang mendorong pembaca untuk memikirkan
sendiri relevansinya dan mengambil pelajaran dari keterkaitan tersebut. Selain
itu, Mitch juga kerap menghadirkan kisah tentang pentingnya kasih sayang dalam
keluarga.
Di
sini, Mitch seakan menggambarkan “kegeraman”nya pada cara kekerasan yang
digunakan orang tua, dalam hal ini ayah, saat menceritakan interaksi antara
Eddie dengan sang ayah.
“Semua
orang tua merusak anak-anak mereka. Tak bisa dihindari. Anak-anak, seperti
gelas cair, mengikuti bentuk yang dibuat oleh pencetak mereka. Sebagian orang
tua membuat retak, sebagian lagi meremukkan masa kecil menjadi pecahan-pecahan
yang tak mungkin lagi g diperbaiki. (hal. 108).
Dan,
sekali lagi Mitch membuat saya nyaris menangis. Oleh pengorbanan orang-orang
yang tidak diketahui Eddie semasa hidupnya, dan baru terungkap lewat penuturan
lima orang yang ditemuinya di alam baka : si Orang Biru, sang kapten,
Margueritte, Ruby dan Tala.
Jika
dalam For One More Day, Mitch mengajak pembaca untuk tak menyia-nyiakan keberadaan ibu,
lewat novel ini pula, Mitch seakan mengingatkan, bahwa semua peristiwa yang
kita lalui di dunia, interaksi kita dengan sesama manusia baik yang kita sadari
maupun tidak efek baik dan buruknya, siapa orang yang pernah kita kecewakan
atau mengecewakan kita, punya kontribusi penting terhadap perjalanan hidup yang
kita lalui termasuk pembalasan yang kita terima di alam baka nantinya.
Satu
kalimat favorit saya dalam novel ini, diucapkan oleh sosok Ruby kepada Eddie :
“Menyimpan rasa marah adalah racun. Menggerogotimu dari dalam. Kita mengira
kebencian merupakan senjata untuk menyerang orang yang menyakiti kita. Tapi
kebencian adalah pedang bermata dua. Dan luka yang kita buat dengan pedang itu,
kita lakukan terhadap diri sendiri.” (hal. 145).
Judul : The Five People You Meet in
Heaven
Penulis : Mitch Albom
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : Juli 2014 (cet-7)
Hal :
202 hal
Woww.. quote di paragraf terakhir itu makjleb banget! Ijin kopas ya mbak, walau aku belum membaca buku-bukunya Mitch Albom
ReplyDeleteSilahkan mbak, pesan ceritanya juga makjleb :)
ReplyDelete