Era reformasi
telah membawa perubahan pada wajah perpolitikan dan sistem pemerintahan di
tanah air, salah satunya adalah dalam penyelenggaraan pesta demokrasi dimana
para pemimpin mulai dari tingkat pusat hingga tingkat daerah dan desa, dipilih
langsung oleh rakyat.
Namun perubahan
ini tidak serta merta membawa perubahan yang positif pula terhadap pembangunan
dan kesejahteraan rakyat. Salah satunya seperti yang dialami oleh warga Desa
Randuasri, Kecamatan Kalinyamatan.
“Dari dulu
jalan-jalan di desanya selalu begini. Entah sudah berapa kali diaspal ulang.
Tapi hampir setiap tahun mengalami kerusakan. Harus menyalahkan siapa? Pak
Petinggi bilang, itu sudah dari atas. Pak Camat bilang, anggaran terbatas. Tak
pernah ada peningkatan kualitas bahan aspalan.” (hal.21)
Desa ini menjadi
tempat tinggal dua pemuda sebaya, Malik dan Yudho, yang bersahabat akrab meski
memiliki nasib yang berbeda. Malik putra bungsu dari keluarga berada sementara
Yudho hanya anak dari keluarga miskin. Malik memiliki masa lalu yang kelam. Ia
lalu bertekad untuk bertobat. Salah satu bukti tekadnya adalah keinginannya
untuk mencalonkan diri sebagai kepala desa demi membawa perubahan pada desanya.
Namun belum lagi cita-citanya tercapai, sebuah kecelakaan maut telah merenggut
nyawa Malik. Kecelakaan yang disertai beberapa kejanggalan, namun tak seorang
pun berani mengungkapnya.
Sepeninggal
Malik, beberapa keluarga Yudho dan sejumlah warga kemudian mendorong Yudho
untuk meneruskan cita-cita Malik. Dorongan yang juga dilatarbelakangi keinginan
mereka untuk merasakan perubahan.
“Sekarang ini
hanya ada calon tunggal, yaitu Pak Petinggi sendiri. Kami sudah lama mencium
bau ketidakberesan, maka kami ingin ada perubahan, harus ada yang berani
bersaing.” (hal.154)
“Mengapa kamu
yang dipilih? Satu, kamu mendapat dukungan dari kalangan tua yang berpengaruh.
Dua, kamu masih muda, temanmu banyak. Mereka tak mungkin mau memilih Pak
Petinggi lagi. Kalangan muda pun ingin sesuatu yang baru. Selama ini aspirasi
mereka tidak diperhatikan, kurang tersalur.” (hal.162).
Meski demikian,
Yudho dilanda kegamangan untuk mencalonkan diri. Ia tahu persis bahwa politik
uang juga telah menjangkiti pelaksanaan pemilihan kepala desa di Desa Randuasri.
“Di kalangan
rakyat paling bawah saja, politik uang bukan lagi menjadi hal memalukan. Justru
jika tidak ikut budaya yang sudah ada, malah akan dilibas, tak dianggap, dan
tidak akan muncul ke permukaan.” (hal. 169).
Belum lagi
muncul ancaman dari pihak Pak Thamrin, sang petinggi (kepala desa) yang kembali
mencalonkan diri. “Dik Yudho tahu yang terbaik seperti apa. Kalau mau pilih
aman, ada jalan yang paling aman. Jangan halangi jalan saya, maka Dik Yudho
seratus persen aman.” (hal.190).
Pemilihan kepala
desa pun akhirnya digelar. Dengan dorongan banyak pihak, Yudho akhirnya nekad
mencalonkan diri menjadi pesaing Pak Thamrin. Namun, lagi-lagi tercium aroma
kecurangan yang dilakukan kubu Pak Thamrin pada hari pelaksanaan pemilihan.
Berhasilkah
Yudho memenangi pemilihan kepala desa tersebut? Akankah semua kecurangan Pak
Thamrin terungkap? Benarkah kematian Malik hanyalah sebuah kecelakaan murni
atau justru sebuah konspirasi pembunuhan?
“Temui Aku di Syurga”,
sebuah novel yang mengungkap sisi lain dalam pelaksanaan pesta demokrasi di
tingkat desa yang dibaluri intrik kecurangan dan politik uang. Dikemas bersama
romansa yang islami, novel ini menggugah kesadaran pembaca, bahwa dalam sesulit
apapun kondisi dan rintangan, di tengah budaya politik uang yang sudah mendarah
daging hingga ke jenjang pemerintahan terbawah, kebenaran dan perubahan ke arah
yang lebih baik tetap harus diperjuangkan.
Judul : Temui Aku di Syurga
Penulis : Ella Sofa
Penerbit : Quanta
Tebal : 277 hal
Genre : Novel
Terbit : 2013
ISBN : 9786020213606
Harga : Rp.44.800,-
No comments