Resensi :
Saat menyebut nama India, mungkin,
ingatan sebagian besar orang akan langsung tertuju pada gemerlap perfilman Bollywood,
kultur dan tari-tarian, juga tayangan drama yang saat ini tengah menjadi perbincangan
hangat dan diputar setiap malam di salah satu televisi swasta tanah air,
apalagi kalau bukan serial epik Mahabharata.
Padahal, di sisi lain, India juga negara
yang menyimpan berbagai ironi dan paradoksal. Kemiskinan, angka pengangguran, jumlah tunawisma dan kriminalitas yang tinggi, serta yang masih menjadi “hantu” bagi
sebagian besar kaum wanita India.....diskriminasi dan kekerasan seksual.
“Di India, dunia dikuasai laki-laki.”
(hal. 263). Kalimat ini seolah-olah menegaskan realita akan budaya India yang kurang
memihak terhadap kaum wanita bahkan sejak mereka masih berada dalam kandungan.
Ketimpangan ini, pada perkembangannya tak pelak menimbulkan gelombang protes
dan pemberontakan dari kaum wanitanya sendiri. Apalagi, jika wanita tersebut
telah tersentuh budaya modern dan tinggal di negara yang mengagungkan
kebebasan.
Inilah yang kemudian dituangkan dalam
sebelas cerpen di buku ini, dan sebagian besar kisah, memiliki premis yang
stereotype, yaitu tentang konflik dan dilema para perempuan India yang tinggal
di Amerika, antara keharusan mereka untuk tetap tunduk pada kultur, ataukah
membaur dengan budaya barat yang masih dianggap tabu bahkan dosa besar.
Diantara kesebelas cerpen yang ada, empat cerpen
favorit saya adalah cerpen yang di dalamnya terdapat kisah tentang anak. Yaitu
cerpen berjudul Kelelawar, Hidup yang Sempurna, Pemeriksaan Ultrasonografi dan Bertemu
Mrinal.
Pada cerpen Kelelawar, penulis dengan
luwes dan natural berhasil “masuk” ke dalam tokoh anak perempuan dan bercerita
tentang KDRT dari sudut pandang sang anak. Cerpen Hidup yang Sempurna, berkisah
tentang metamorfosis kasih sayang seorang wanita India yang belum dikaruniai
anak dengan seorang anak kecil gelandangan yang nyasar ke rumahnya. Di sini,
penulis berhasil mendeskripsikan rasa kasih sayang antara keduanya melalui
penggambaran gestur dan bahasa tubuh secara halus, detail dan eksploratif. Sehingga
tak sadar, saya nyaris meneteskan air mata saat sang anak gelandangan
menghilang ketika berada dalam pengawasan ibu asuhnya, dan kerinduan sang wanita
India terhadap gelandangan tersebut yang semula hendak ia adopsi namun terhalang oleh hukum.
Cerpen Pemeriksaan Ultrasonografi,
adalah kisah yang paling menggemaskan dan memerihkan. Seperti telah saya
ungkapkan pada paragraph di atas, bahwa wanita India telah mengalami
diskriminasi bahkan sejak masih berada di dalam kandungan, dan ini terpapar
secara gamblang di dalam cerpen ini. Betapa seorang ibu dipaksa melakukan
aborsi saat hasil USG menunjukkan kalau bayi pertamanya berjenis kelamin perempuan.
Dan Cerpen Bertemu Mrinal, yang menjadi
kisah penutup buku ini, bercerita tentang seorang single mom yang harus menjalani
kehidupan bersama anak lelakinya yang tumbuh remaja pasca perceraian, juga
bagaimana ia menghadapi pandangan miring lingkungan terhadapnya. Konflik internal dan eksternal inilah, yang kemudian mengondisikannya menjadi ibu tunggal yang kuat saat bertahan dengan pilihan hidupnya.
Dalam buku ini, kita juga akan menemui
potret lainnya dari kisah para wanita India, tentang perjodohan, perselingkuhan,
kesetiaan, dan perjuangan mendobrak diskriminasi menuju kemandirian. Yang sebagian darinya,
boleh jadi adalah potret kehidupan kita sendiri atau para wanita di sekitar
kita. Semuanya dituturkan dengan kalimat-kalimat yang indah, deskriptif,
eksploratif dan bernuansa lembut, yang menjadikan kesebelas cerpen dalam buku
ini terasa hangat dan akrab.
Saat telah menutupnya, saya bersyukur terlahir sebagai wanita Indonesia
yang terbebas dari diskriminasi kultur dan sosial. Dan buku ini sekaligus membuka mata saya, bahwa kehidupan kaum wanita India tidaklah segemerlap film-film bollywood yang bertabur suguhan tari dan lagu serta latar cerita yang hedonis.
Judul : Arranged Marriage
Penulis : Chitra banerjee Divakaruni
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : 2014
Halaman : 276 hal
benar mbak, bersyukur kita hidup di bumi Indonesia. Sebobrok-bobrokknya Indonesia, setidaknya sebagian besar perempuan Indonesia tidak mengalami apa yang dialami oleh perempuan India. kalaupun ada, ini hanya karena kejahatan saja.
ReplyDeleteBeberapa waktu aku baca berita tentang perempuan India yang dibakar keluarga suami karena belum lunas mahar, ditambah banyaknya permintaan dr keluarga suami. Aduh, ngeri bacanya.
Aku membayangkan membaca cerpen2 Chitra banerjee Divakaruni ini, kayaknya aku juga bakal meneteskan airmata.
Iya mbak, dibakar hidup2 itu duhh, ngeri membayangkannya, mana kasus kekerasan seksual juga frekuensinya tinggi banget.
ReplyDeleteBbrp cerpen Chitra memang bikin emosi teraduk2, mbak, nurutku dia bisa mengolah tema yg sederhana dgn penuturan yg dalam sekali, seakan2 smw ksh itu kisahnya sendiri
Wanita Indonesia terbebas dari diskriminasi kulture dan sosial....? bisa iya...bisa aja belum terbebas seutuhnya...hehe..Salam produktif mba Lyta sayang...
ReplyDeleteiya mbak anita, ada sebagian yg masih mengalami diskriminasi, spt di bali, mungkin krn kulturnya mirip india ya
ReplyDeletesaya bersyukur terlahir di Indonesia, dan di tengah keluarga yang demokratis.. :)
ReplyDeleteRiski : yup, dan itu membahagiakan ya :)
ReplyDelete