Sinopsis :
Lelah menanti lamaran sang kekasih,
Richard yang tak kunjung ia dapatkan, Lottie nekad menerima lamaran Ben, mantan
pacarnya saat remaja yang muncul kembali, dengan satu syarat : tidak ada
pacaran, kencan dan pertunangan, melainkan langsung menikah.
Kedua pasangan ini lalu berbulan madu ke
pulau kecil di Yunani tempat mereka pertama kali bertemu. Namun, keluarga dan
teman dekat mereka ternyata tidak senang dengan keputusan mereka yang terburu-buru,
lalu berusaha keras untuk menggagalkan malam pertama mereka.
Berbeda dari tiga novel Sophie Kinsella
yang telah saya baca sebelumnya, dimana sang penutur hanya ada satu dan
bertutur dengan pov 1, maka pada novel ini, Sophie menampilkan tiga tokoh yang
berbicara dengan pov 1 : Lottie, Fliss kakak Lottie, dan Arthur sang pemilik
penginapan, yang bertutur dalam porsi paling kecil.
Lottie dan Fliss digambarkan sebagai
kakak beradik dengan karakter yang lumayan ekstrem dan sanggup berbuat nekad
bahkan sedikit gila, Ben digambarkan sebagai lelaki yang kurang bertanggung
jawab (karakter yang sedikit banyak mirip karakter tokoh pria dalam novel
Sophie yang berjudul I’ve Got Your Number), dan satu hal menarik di sini, bahwa
kehadiran beberapa tokoh pembantu tak hanya punya andil cukup besar, tetapi juga
meninggalkan kesan yang cukup berarti. Yang saya maksud di sini adalah Lorcan
sahabat Ben dan Noah anak Fliss yang memiliki imajinasi sangat tinggi.
Kehadiran Noah dan imajinasinya yang tak
terduga,membuat beberapa adegan dalam novel ini terasa menggelikan, dan untuk
sosok Lorcan sendiri, awalnya saya menganggapnya sosok antagonis dan percaya
saja pada penggambaran karakternya dari sudut pandang Ben yang menganggap
Lorcan memegang kendali penuh atas diri dan perusahaannya. Namun seiring cerita
yang bergerak menuju akhir, barulah terungkap sisi lain Lorcan yang justru
adalah tempat bergantung Ben selama ini dalam mengendalikan perusahaan warisan
ayahnya.
Dalam novel ini, saya mendapat pemahaman
yang lebih detail akan makna hubungan seksual dan pernikahan dalam kultur masyarakat
Barat - setidaknya dari sudut pandang penulis – yang tentu saja, sangat
berlawanan dengan prinsip dan budaya ketimuran. Namun di sisi lain, melalui sosok
Fliss dan dilema perceraiannya, Sophie sepertinya sedikit banyak mencoba
memberi gambaran akan dampak terhadap anak yang orang tuanya bercerai.
Seperti juga pada novel-novel
sebelumnya, Sophie kembali menunjukkan kepiawaiannya mengolah hal-hal absurd menjadi
sesuatu yang layak diterima logika, dan menghadirkan ketegangan-ketegangan yang
cukup seru saat Fliss berusaha keras menggagalkan bulan madu Lottie. Memang,
diantara novel Sophie sebelumnya, novel yang satu ini lumayan banyak diselipi adegan
“dewasa” sehingga lebih cocok untuk dikonsumsi pembaca dewasa atau yang sudah
menikah.
Kepiawaian Sophie dalam menghadirkan
twist juga kembali ia tunjukkan di dalam novel ini,dan bukan hanya single
twist, melainkan double atau bahkan triple twist. Hal ini kadang membuat saya
ingin mengintip proses kreatif Sophie. Di saat banyak penulis kerap
terburu-buru membuat ending, Sophie justru berbuat sebaliknya dengan semakin
meliuk-liukkan cerita menjelang ending dan menutupnya dengan kejutan.
Setelah ini, saya berharap dapat membaca
serial Sophaholic yang fenomenal itu. Meski sejauh ini, karakter tokoh utama
dalam novel-novel Sophie cenderung typikal, namun alur ceritanya yang menarik,
dinamis dan menghibur, terkadang konyol, juga penuturan khas Sophie yang
lincah, cerdas dan detail, membuat saya tetap menanti kejutan apalagi akan
dihadirkan Sophie pada novel berikutnya.
Judul : Wedding Night
Penulis : Sophie Kinsella
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Juli 2013
Halaman : 592 hal
Wah, makin penasaran. aku suka novel2 dengan jalan menuju ending yang ber-twist2 itu :D
ReplyDeleteSophie paling jago soal twist2 ini mbak :-)
ReplyDelete