Andai hidup ini hanya ada satu pilihan, sudah pasti, pada bahagialah
ia akan menjatuhkan pilihan. Tapi, nyatanya
dunia terlalu penuh warna. Bahkan kini, warna itu kian beragam. Hingga ia pun tak
mampu kenali pasti mana yang sebenar-benarnya hitam, mana yang benar-benar putih. Selalu ada bias abu-abu mengiringi, yang membuatnya pun tak ingin semena-mena
mengatakan itu hitam atau putih, selain cukuplah mengatakan, bahwa visualnya hanya mampu menangkap fatamorgana.
gambar dari sini |
Betapa ia inginkan, semua bisa memahami, kenapa ia harus
berteriak, kenapa pula di waktu berbeda ia justru tertawa terbahak-bahak,
kenapa ia mampu mengukir senyum bijak saat menyambut pagi, namun insomnia dan
kegelisahan kronis adalah sahabat terbaiknya saat semua orang telah berkalung mimpi.
Andai laki-laki itu tahu, justru dia tak perlu bersusah payah mengayun
kampaknya keras-keras, karena sang batu cadas, nyatanya tak lebih liat dari segumpal
kapas.
Adakala, jangankan membuat pilihan, ia bahkan tak tahu apa yang semestinya
ia anggukkan, dan mana yang selayaknya hanya ia anggap angin lalu, karena sang
angin lalu, ternyata mampu membuatnya terdiam dan tergugu.
Terkadang, ia berkhayal ingin menjelma batu nisan. Untuk alasan yang sederhana. Bahwa tak ada angin
yang mampu menerbangkan batu nisan. Entah, kalau suatu saat badai tsunami datang.
Hanya dengan menjelma batu nisan, ia bisa meresapi kesunyian yang syahdu,
orang-orang datang untuk melantun doa, tanpa ribut-ribut mengomentari akan
pilihan dan warna. Ia tak perlu mendongak pongah, memamer beragam atribut, dan
berteriak nyaring untuk membuat orang-orang tunduk dan hormat. Dalam diamnya,
dalam kesederhanaannya, ia mampu membuat semua orang bergetar ngeri, dan tak ada yang
lebih ditakutkan selain ajal yang menjemput terlalu dini.
gambar dari sini |
Perlahan, ia melangkah dalam bimbang. Kata orang, kebahagiaan itu, diri
sendirilah yang menciptakan. Tapi, bagaimana mungkin, ia bisa mencipta
bahagianya seorang diri? Sedangkan saat terjaga, ia sadari bahwa ia pun tak
tidur sendirian. Bagaimana ia bisa berteriak sepuasnya, sementara di
sekelilingnya orang-orang menutup telinga atau bahkan menyuruhnya diam?
Bagaimana ia bisa berlari sekencangnya, di tengah arus keramaian yang setiap
saat bisa membuatnya jatuh terguling lalu terinjak?
Bagaimana ia bisa......?
Sesaat, ia berhenti. Meresapi khayalannya dalam-dalam. Berdiri di tengah
kesunyian, diantara deretan batu nisan. Menghirup napas ketenangan tak terbantahkan. Sebelum
pagi kembali mengurungnya dengan berjuta warna. Membuatnya silau, namun tetap ditegakkannya langkah dan kedua bahu, meski pun, ia harus berpura-pura buta.
Dan Nisan pun mengirimu selembar kertas, dengan kata-kata mengalun getir.
ReplyDeleteDear Lyta, betulkah kesepian semacam inikah yang kau cari? Tidak... seandainya boleh memilih, aku akan bercanda dengan matahari, terbang bersama burung-burung, dan menjajal laku yang penuh kelintar gairah...
Di sini, dalam diam yang senyap, bahkan aku tak mampu menahan lumut-lumut yang mengotoriku. Dan semakin tercekam aku oleh jerit ahli kubur saat bertemu sang malaikat penjaga barzakh.
Tidak, aku bosan jadi nisan. Aku ingin bebas, tersenyum lepas memandang dunia, bersama orang-orang yang aku cinta.
Salam,
Batu Nisan
haha, tetap saja dirimu gagal membaca kelindan pikiranku, qiiqiqiqi
ReplyDelete