Hal ini nggak hanya menimpa
penulis yang udah menerbitkan beberapa buku saja, bahkan seorang penulis dengan
jam terbang masih minim pun tak luput dari rasa bosan, saat harus menulis pada
genre yang itu-itu saja, tak peduli meski dari naskah yang ia tulis, belum semuanya layak diterbitkan.
Nulis genre beda? Sah-sah aja, asal.....
Friday, 30 November 2012
Menarik, saat mencari-cari referensi untuk postingan ini, saya bertemu kalimat ini di www.sabda.org, bahwa bukan penulis yang memilih genrenya, tetapi genre itulah yang memilih penulisnya, karena pada hakikatnya ketika menulis sebuah karya, penulis hanya menulis apa yang ada dalam hatinya. Batasan sebuah genre diciptakan untuk memudahkan pembaca mengenal dan mengapresiasi beragam karya, tetapi batasan itu sendiri, juga tidak seharusnya menjadi belenggu bagi penulis untuk berkarya. Itu sebabnya, tak jarang, penulis juga kerap tergoda untuk mencoba menulis berbagai genre.
KONSEP DIGITAL UNTUK START-UP BUSINESS
Friday, 16 November 2012
Pengen memulai bisnis tapi modal
seuprit?
Pengen jualan tapi gak pede menghadapi calon konsumen?
Lupakan cara konvensional, saatnya
untuk start-up your business dengan konsep digital, karena konsep ini nggak
hanya akan menghemat banyak sumber daya seperti tenaga, waktu, dan materi tetapi
juga menjanjikan profit dan jaringan yang nyaris tanpa batas.
Tulisan ini bukan iklan jualan
obat, juga bukan bujuk rayu untuk menjadi member produk, melainkan sebuah
ulasan praktis tentang how and what you
need to start up your business by using this digital concept.
REVIEW NOVEL SILANG HATI
Wednesday, 14 November 2012
Judul: Silang Hati
Penulis: Sanie B. Kuncoro & Widyawati Oktavia
Jumlah Halamanan: 332 hlm
Ukuran: 13 x 19 cm
Harga: Rp49.000
ISBN: 979-780-479-8
Bagaimana caraku menatapmu, memandangmu lurus-lurus tanpa rasa bersalah? Karena setiap kali aku berhadap-hadapan denganmu, berusaha bereaksi atas senyuman tulusmu, aku seketika menundukkan kepala. Saat melihatmu, aku melihat dirinya.
Cinta memang bukan sesuatu yang bisa dipermainkan, dan sayangnya, aku baru menyadari ketika benar-benar terperosok ke dalamnya. Seperti pasir isap, sulit bagiku untuk keluar dari segitiga ini. Ada tiga sisi di cinta ini, ada tiga perasaan yang tengah dipertaruhkan.
Tak seharusnya ini terjadi, aku tahu itu. Tapi, kau dan dia bagaikan air dan udara—bagaimana bisa aku memilih hidup dengan salah satunya saja?
Penulis: Sanie B. Kuncoro & Widyawati Oktavia
Jumlah Halamanan: 332 hlm
Ukuran: 13 x 19 cm
Harga: Rp49.000
ISBN: 979-780-479-8
Bagaimana caraku menatapmu, memandangmu lurus-lurus tanpa rasa bersalah? Karena setiap kali aku berhadap-hadapan denganmu, berusaha bereaksi atas senyuman tulusmu, aku seketika menundukkan kepala. Saat melihatmu, aku melihat dirinya.
Cinta memang bukan sesuatu yang bisa dipermainkan, dan sayangnya, aku baru menyadari ketika benar-benar terperosok ke dalamnya. Seperti pasir isap, sulit bagiku untuk keluar dari segitiga ini. Ada tiga sisi di cinta ini, ada tiga perasaan yang tengah dipertaruhkan.
Tak seharusnya ini terjadi, aku tahu itu. Tapi, kau dan dia bagaikan air dan udara—bagaimana bisa aku memilih hidup dengan salah satunya saja?
BERSINERGI BERANTAS KORUPSI
Sunday, 4 November 2012
Percayakah anda, bahwa dalam
setiap dimensi publik yang kita masuki kini, nyaris tak terlepas dari perilaku
korupsi?
Ketika berjalan kaki
atau mengendarai kendaraan, jalan yang kita lewati itu ternyata dibangun oleh
dana mark-up, ketika membeli
buku-buku pelajaran di sekolah anak-anak, buku-buku tersebut ternyata berasal
dari perusahaan yang memenangkan tender secara korup. Ketika melakukan
pengurusan dokumen, tak jarang kita menghadapi oknum bermental korup dan
memaksa kita melakukan perilaku korup juga (menyuap) agar urusan bisa lebih
lancar. Dan ketika melangkah masuk ke institusi tempat kita bekerja, kita
sering tak berdaya atau bahkan dengan sukarela membiarkan diri terjebak lingkar
sistem yang diwarnai perilaku korupsi.
TENTANG SETTING
Monday, 29 October 2012
Catatan di bawah ini, seperti biasanya hanyalah berdasarkan
pengalaman yang saya rasakan saat membaca buku. Jadi, bagi yang membutuhkan
tips yang lebih tepat dan akurat, saya sarankan, lebih baik mencarinya di
buku-buku panduan menulis atau pun info link yang memang lebih pas untuk itu.
Tak jarang, saat membaca sebuah novel, elemen-elemen
pendukung yang semestinya bisa membuat performa novel tampil lebih baik justru
berefek sebaliknya, salah satunya dalam hal setting, atau latar cerita. Baik
itu terkait setting waktu, tempat mau pun situasi sosial-kultural. Ada beberapa
hal yang membuat deskripsi setting justru terasa mengganggu proses membaca,
antara lain, sbb :
TAMPARLAH DAKU KAU KUKEJAR LALU KUGILAS (Part 2)
Monday, 15 October 2012
Terkadang, kita membutuhkan sedikit sentilan, senggolan, atau bahkan tamparan dalam hidup untuk membuat kita terjaga, bangkit, lalu bertekad untuk mencapai sesuatu yang lebih baik dari apa yang bisa kita lakukan hari ini. Itu sebabnya, saat kita membaca atau menonton biografi tokoh2 ternama, pada umumnya mereka mengawali jejak langkah dengan terlebih dulu menapak di atas kerikil tajam, pendakian nan terjal bahkan bara api, sebelum akhirnya menjadi seperti mereka yang kita ketahui sekarang.
Pada catatan ini, saya akan sedikit "buka-bukaan" tentang beberapa pengalaman yang cukup "menampar" saya untuk lebih giat menulis dan membuktikan bahwa saya bisa mencapai cita-cita saya sebagai penulis. Untuk tamparan yang datang dari internal keluarga, insya Allah akan saya ceritakan pada catatan berikutnya, atau yang membaca tulisan ini, bisa juga menemukan sebagian kecil tentang itu di dalam antology Asma Nadia Inspirasiku.
Sebenarnya, kalo dibilang tamparan, rasanya kok terlalu kejam ya? Tapi kalo judulnya diganti cubitlah aku or senggollah aku, ntar bisa ngundang asumsi macem2 :D
Sebagian besar tamparan yang menjadi lecut ini memang terjadi di sosmed. Harus diakui, bahwa sosmed telah mengembangkan budaya interaksi secara terbuka. Setiap pengguna akunnya punya akses untuk berkomunikasi secara terbuka, termasuk mencaci maki memuji sanjung secara terbuka pula.
Pertama - sekitar akhir 2009, saya baru membuka akun FB, waktu itu, novel duet pertama saya baru terbit. Iseng, saya singgah di wall kakak saya yang juga partner duet pada novel itu. Dan disitu, di bawah status promonya untuk novel itu, entah kenapa, komentar2 teman2nya membuat saya sedikit kecil hati. Mengapa? Karena komentar2 di situ seolah-olah novel itu hanya karya satu orang, yaitu kakak saya, padahal, tanpa bermaksud mengecilkan peran kakak saya, nyatanya 90% porsi penulisan, saya yang menulisnya. Sebenarnya, sah2 aja teman2nya berkomentar demikian, toh kakak saya adalah teman mereka, dan itu wall-nya dia, wajar sekali sebenarnya kalo mereka berkomentar demikian. Namun waktu itu, karena semangat lagi menggebu2 (maklum, novel pertama :)), hal itu membuat saya bertekad akan belajar menulis lebih giat agar kelak saya bisa menerbitkan novel solo dan membuktikan bahwa saya bisa menulis, dan bukan sekadar mendompleng di novel duet itu.
Kedua - sekitar awal 2010, masa ketika antology tengah naik daun di FB. Beranda saya dipenuhi dengan audisi2 antologi, dan tak jarang, saya pun diseret ke inbox2 berantai untuk berdiskusi tentang antologi. Salah satu inbox berantai yang menyeret saya waktu itu, isinya perempuan semua, rata2 udah mulai menulis sejak beberapa tahun, mengikuti organisasi kepenulisan, juga tak sedikit yang udah punya buku. Waktu itu, mereka seringnya ngobrol dengan bahasa daerah yang sama sekali saya nggak ngerti. Beberapa kali saya interupsi, meminta mereka ngbrol pake bahasa Indonesia saja karena saya nggak sesuku dengan mereka dan nggak ngerti materi pembicaraan, namun setiap kali pula dicuekin. Beberapa kali coba nimbrung, sama juga, tetep dicuekin. Sampai akhirnya praduga jelek itu melintas dalam benak saya, apa karena saya penulis anak bawang, yang baru punya secuil buku dan menulis pun baru2 ini saja, sehingga suara saya tak layak didengar? Dari situ, semangat menulis itu kembali menggelora. Saya ingin buktiin pada mereka yang ada di inbox itu kalo saya nggak akan selamanya jadi anak bawang, boleh2 saja mereka telah memulai start menulis lebih dulu, tetapi saya bertekad untuk bisa mengejar ketertinggalan itu, kalo perlu tak hanya mengejar, tetapi juga mendahului mereka untuk bisa menjadi kompetitor di arena literasi. Kompetitor dalam produktivitas juga dalam kualitas karya.
Ketiga - ini terjadinya di dunia nyata. Tahun yang sama, kota kelahiran saya menjadi tuan rumah event literasi cukup bergengsi, yaitu Temu Sastrawan Indonesia III (TSI III). Penulis dan sastrawan lokal diberi kesempatan untuk ikut serta, dengan syarat harus sudah menerbitkan buku dan mengumpulkan cerpen atau puisi untuk diseleksi. Maka, dengan antusias saya pun mendaftarkan buku, cerpen dan puisi saya ke panitia. TAk lama setelah itu, seorang sastrawan lokal mengundang saya ke rumahnya. Undangan yang membuat saya senang banget. Ada tiga orang sastrawan dan penulis lain yang datang juga. Awalnya, saya begitu naif dan bersemangatnya saat bercerita tentang aktivitas menulis saya saat ini yang mencoba ikut dalam berbagai audisi antologi di FB. Namun mereka tak tampak tertarik. Mereka malah balik bertanya, memangnya kamu tahu apa itu antologi? KAmu tahu nggak kalo menulisnya 2, 3, or 4 orang, itu juga udah namanya antologi, ada juga yang bilang, kalo dia nggak bakal ikut dalam proyek2 yang nggak bikin kualitas dia lebih ter-upgrade. Sampai di sini, saya mulai merasa inferior lagi.
Malam terus beranjak. Pembicaraan kian berkembang pada hal2 yang semakin membuat saya merasa kecil. Tentang persaingan sastrawan senior-junior, pengaruh intrik politik dan kepentingan terhadap sastra lokal, sastrawan yang diakui dan yang tidak, dsb. dan puncaknya adalah ketika salah satu dari mereka mengeluarkan surat keputusan walikota berisi nama2 penulis lokal yang terpilih untuk even TSI III itu. Saya baca, dan...nama saya enggak ada.
Kecewa tentu saja, karena nama2 yang terpilih, justru sebagian besar saya ketahui belum memiliki buku, dalam artian, sebenarnya nggak cukup syarat dong? Walaupun bbrp hari setelah itu panitianya bilang kalo nama saya sebenernya terdaftar, saya memilih tidak hadir. Iya kalo emang masuk list, kalo enggak, malu2in aja dong datang nggak diundang? :)
Kembali, saya merasa sedikit tertampar. Tamparan yang membuat saya memancang tekad, meskipun saya nggak bisa nulis yang nyastra2 seperti mereka, saya akan buktiin kalo saya bukan penulis jago kandang, biarlah nggak dikenal di kota sendiri nggak apa-apa, yang penting karya saya, baik yang komersil maupun tidak, bisa dinikmati orang2 yang tinggal di tempat lain di negeri ini, di kota2 yang tak pernah saya datangi. Alhamdulillah, kekecewaan saya waktu itu sedikit terobati karena cerpen saya terpilih untuk mengisi antologi TSI III.
Keempat - kembali terjadi di dunia maya. Waktu itu, novel kedua saya baru terbit. Ada diskusi tentang EYD dan editan di sebuah grup nulis. Terutama untuk editan atas karya penulis yang EYDnya parah, itu menuntut kerja ekstra dari editor. Saya nimbrung, saya tanyakan, bagaimana kalo andai kesalahan itu justru dari editor, dan ini emang kenyataan, ada beberapa mistypo dalam novel saya pasca cetak yang sebelumnya tidak ada. Apa komentar sang empunya grup yang juga editor? Semoga tidak ada lagi penulis yang se............. @Riawani Elyta.
Iya, sodara2. Nama saya dimensyen. Sengaja saya kosongin titik2 itu karena saya udah lupa persisnya gimana, yang jelas asumsinya adalah bahwa saya penulis pemula yang terlalu pede dan sombong, sehingga menganggap naskah saya lebih baik kualitasnya dari hasil editan pasca cetak. Waktu itu, mata saya langsung menghangat, saya tulis lagi di bawahnya, saya siap mengirim naskah pra dan pasca cetak untuk anda melihat di mana bedanya. Dia ngejawab ngerasa nggak enak hati, tanpa permintaan maaf, dan tetap keukeuh bilang bahwa selama ini sebagian besar kesalahan EYD ada di pihak penulis.
Ya sudahlah. Dari situ saya bertekad bahwa saya harus belajar EYD lebih giat lagi, harus saya akui, saya memang masih lemah dalam hal ini, dan kedepannya nanti, saya nggak boleh lagi komplain soal kinerja editor pada editor :D Alhamdulillah, saat ini editor2 saya adalah orang2 yang komunikatif, juga rendah hati dan tak sungkan minta maaf untuk hasil koreksian yang kurang berkenan di hati penulis.
Hari ini, saya justru merasa berterima kasih pada mereka2 yang mungkin tak pernah menyadari kalau dulunya mereka pernah membuat saya merasa sedikit tertampar ini, tergelora semangat untuk lebih giat belajar menulis, mungkin, jika saya mengawalinya dengan jalan yang adem ayem saja, belum tentu antusias dan semangat saya untuk menulis bisa seperti sekarang. Jadi biar banyak orang bilang saya orangnya kalem dan pendiam, urusan ambisi, beda tipis aja koq sama Agnes Monica, hehe. Yang beda banyak banget itu penghasilannya :)
Pada catatan ini, saya akan sedikit "buka-bukaan" tentang beberapa pengalaman yang cukup "menampar" saya untuk lebih giat menulis dan membuktikan bahwa saya bisa mencapai cita-cita saya sebagai penulis. Untuk tamparan yang datang dari internal keluarga, insya Allah akan saya ceritakan pada catatan berikutnya, atau yang membaca tulisan ini, bisa juga menemukan sebagian kecil tentang itu di dalam antology Asma Nadia Inspirasiku.
Sebenarnya, kalo dibilang tamparan, rasanya kok terlalu kejam ya? Tapi kalo judulnya diganti cubitlah aku or senggollah aku, ntar bisa ngundang asumsi macem2 :D
Sebagian besar tamparan yang menjadi lecut ini memang terjadi di sosmed. Harus diakui, bahwa sosmed telah mengembangkan budaya interaksi secara terbuka. Setiap pengguna akunnya punya akses untuk berkomunikasi secara terbuka, termasuk mencaci maki memuji sanjung secara terbuka pula.
Pertama - sekitar akhir 2009, saya baru membuka akun FB, waktu itu, novel duet pertama saya baru terbit. Iseng, saya singgah di wall kakak saya yang juga partner duet pada novel itu. Dan disitu, di bawah status promonya untuk novel itu, entah kenapa, komentar2 teman2nya membuat saya sedikit kecil hati. Mengapa? Karena komentar2 di situ seolah-olah novel itu hanya karya satu orang, yaitu kakak saya, padahal, tanpa bermaksud mengecilkan peran kakak saya, nyatanya 90% porsi penulisan, saya yang menulisnya. Sebenarnya, sah2 aja teman2nya berkomentar demikian, toh kakak saya adalah teman mereka, dan itu wall-nya dia, wajar sekali sebenarnya kalo mereka berkomentar demikian. Namun waktu itu, karena semangat lagi menggebu2 (maklum, novel pertama :)), hal itu membuat saya bertekad akan belajar menulis lebih giat agar kelak saya bisa menerbitkan novel solo dan membuktikan bahwa saya bisa menulis, dan bukan sekadar mendompleng di novel duet itu.
Kedua - sekitar awal 2010, masa ketika antology tengah naik daun di FB. Beranda saya dipenuhi dengan audisi2 antologi, dan tak jarang, saya pun diseret ke inbox2 berantai untuk berdiskusi tentang antologi. Salah satu inbox berantai yang menyeret saya waktu itu, isinya perempuan semua, rata2 udah mulai menulis sejak beberapa tahun, mengikuti organisasi kepenulisan, juga tak sedikit yang udah punya buku. Waktu itu, mereka seringnya ngobrol dengan bahasa daerah yang sama sekali saya nggak ngerti. Beberapa kali saya interupsi, meminta mereka ngbrol pake bahasa Indonesia saja karena saya nggak sesuku dengan mereka dan nggak ngerti materi pembicaraan, namun setiap kali pula dicuekin. Beberapa kali coba nimbrung, sama juga, tetep dicuekin. Sampai akhirnya praduga jelek itu melintas dalam benak saya, apa karena saya penulis anak bawang, yang baru punya secuil buku dan menulis pun baru2 ini saja, sehingga suara saya tak layak didengar? Dari situ, semangat menulis itu kembali menggelora. Saya ingin buktiin pada mereka yang ada di inbox itu kalo saya nggak akan selamanya jadi anak bawang, boleh2 saja mereka telah memulai start menulis lebih dulu, tetapi saya bertekad untuk bisa mengejar ketertinggalan itu, kalo perlu tak hanya mengejar, tetapi juga mendahului mereka untuk bisa menjadi kompetitor di arena literasi. Kompetitor dalam produktivitas juga dalam kualitas karya.
Ketiga - ini terjadinya di dunia nyata. Tahun yang sama, kota kelahiran saya menjadi tuan rumah event literasi cukup bergengsi, yaitu Temu Sastrawan Indonesia III (TSI III). Penulis dan sastrawan lokal diberi kesempatan untuk ikut serta, dengan syarat harus sudah menerbitkan buku dan mengumpulkan cerpen atau puisi untuk diseleksi. Maka, dengan antusias saya pun mendaftarkan buku, cerpen dan puisi saya ke panitia. TAk lama setelah itu, seorang sastrawan lokal mengundang saya ke rumahnya. Undangan yang membuat saya senang banget. Ada tiga orang sastrawan dan penulis lain yang datang juga. Awalnya, saya begitu naif dan bersemangatnya saat bercerita tentang aktivitas menulis saya saat ini yang mencoba ikut dalam berbagai audisi antologi di FB. Namun mereka tak tampak tertarik. Mereka malah balik bertanya, memangnya kamu tahu apa itu antologi? KAmu tahu nggak kalo menulisnya 2, 3, or 4 orang, itu juga udah namanya antologi, ada juga yang bilang, kalo dia nggak bakal ikut dalam proyek2 yang nggak bikin kualitas dia lebih ter-upgrade. Sampai di sini, saya mulai merasa inferior lagi.
Malam terus beranjak. Pembicaraan kian berkembang pada hal2 yang semakin membuat saya merasa kecil. Tentang persaingan sastrawan senior-junior, pengaruh intrik politik dan kepentingan terhadap sastra lokal, sastrawan yang diakui dan yang tidak, dsb. dan puncaknya adalah ketika salah satu dari mereka mengeluarkan surat keputusan walikota berisi nama2 penulis lokal yang terpilih untuk even TSI III itu. Saya baca, dan...nama saya enggak ada.
Kecewa tentu saja, karena nama2 yang terpilih, justru sebagian besar saya ketahui belum memiliki buku, dalam artian, sebenarnya nggak cukup syarat dong? Walaupun bbrp hari setelah itu panitianya bilang kalo nama saya sebenernya terdaftar, saya memilih tidak hadir. Iya kalo emang masuk list, kalo enggak, malu2in aja dong datang nggak diundang? :)
Kembali, saya merasa sedikit tertampar. Tamparan yang membuat saya memancang tekad, meskipun saya nggak bisa nulis yang nyastra2 seperti mereka, saya akan buktiin kalo saya bukan penulis jago kandang, biarlah nggak dikenal di kota sendiri nggak apa-apa, yang penting karya saya, baik yang komersil maupun tidak, bisa dinikmati orang2 yang tinggal di tempat lain di negeri ini, di kota2 yang tak pernah saya datangi. Alhamdulillah, kekecewaan saya waktu itu sedikit terobati karena cerpen saya terpilih untuk mengisi antologi TSI III.
Keempat - kembali terjadi di dunia maya. Waktu itu, novel kedua saya baru terbit. Ada diskusi tentang EYD dan editan di sebuah grup nulis. Terutama untuk editan atas karya penulis yang EYDnya parah, itu menuntut kerja ekstra dari editor. Saya nimbrung, saya tanyakan, bagaimana kalo andai kesalahan itu justru dari editor, dan ini emang kenyataan, ada beberapa mistypo dalam novel saya pasca cetak yang sebelumnya tidak ada. Apa komentar sang empunya grup yang juga editor? Semoga tidak ada lagi penulis yang se............. @Riawani Elyta.
Iya, sodara2. Nama saya dimensyen. Sengaja saya kosongin titik2 itu karena saya udah lupa persisnya gimana, yang jelas asumsinya adalah bahwa saya penulis pemula yang terlalu pede dan sombong, sehingga menganggap naskah saya lebih baik kualitasnya dari hasil editan pasca cetak. Waktu itu, mata saya langsung menghangat, saya tulis lagi di bawahnya, saya siap mengirim naskah pra dan pasca cetak untuk anda melihat di mana bedanya. Dia ngejawab ngerasa nggak enak hati, tanpa permintaan maaf, dan tetap keukeuh bilang bahwa selama ini sebagian besar kesalahan EYD ada di pihak penulis.
Ya sudahlah. Dari situ saya bertekad bahwa saya harus belajar EYD lebih giat lagi, harus saya akui, saya memang masih lemah dalam hal ini, dan kedepannya nanti, saya nggak boleh lagi komplain soal kinerja editor pada editor :D Alhamdulillah, saat ini editor2 saya adalah orang2 yang komunikatif, juga rendah hati dan tak sungkan minta maaf untuk hasil koreksian yang kurang berkenan di hati penulis.
Hari ini, saya justru merasa berterima kasih pada mereka2 yang mungkin tak pernah menyadari kalau dulunya mereka pernah membuat saya merasa sedikit tertampar ini, tergelora semangat untuk lebih giat belajar menulis, mungkin, jika saya mengawalinya dengan jalan yang adem ayem saja, belum tentu antusias dan semangat saya untuk menulis bisa seperti sekarang. Jadi biar banyak orang bilang saya orangnya kalem dan pendiam, urusan ambisi, beda tipis aja koq sama Agnes Monica, hehe. Yang beda banyak banget itu penghasilannya :)
TAMPARLAH AKU KAU KUKEJAR LALU KUGILAS :) - Part 1
Friday, 12 October 2012
Ternyata, judul itu memang harus eye-catching ya? :)
Part 1 dari catatan ini, sebenarnya masih versi recycling dari catatan jadoel saya yang judulnya "Dipuji or Dikritik, Kamu Pilih Mana?" Bedanya, kalau yang jadoel itu saya menganalogikan dengan permainan jungkat-jungkit, maka untuk yang ini, saya mencoba menganalogikan dengan...food. Ya. Makanan. My favourite :)
Apa yang kita rasakan saat mengecap makanan yang manis? Permen, es krim, or coklat misalnya? Pasti yang timbul adalah rasa nyaman dan terhibur, sehingga terkadang, sebagian kita cenderung melarikan diri dari persoalan dengan memakan makanan yang manis. Tetapi pada umumnya rasa manis ini hanya bertahan sekejap. Begitu melewati pangkal lidah dan meluncur ke tenggorokan, rasa manis itu pun akan lenyap. Dan meski pun makanan manis memiliki nilai gizi, kalau berlebihan mengonsumsinya, bisa berpotensi jadi penyakit, ya diabetes, obesitas, dsb.
Begitu jugalah dengan pujian. Saat kita dipuji, disanjung dan dihargai, kita akan merasa senang dan terhibur, apalagi, kalau pujian itu ditujukan untuk karya yang sudah kita buat dengan susah payah. Dalam frekuensi normal, pujian semacam ini memang terasa menyenangkan, kita jadi tersemangati karena merasa karya kita layak dihargai dan pengorbanan kita tak sia-sia.
Tetapi, pada titik ini kita juga harus mulai waspada, jangan sampai pujian berkembang menjadi kebutuhan. Kita butuh untuk dipuji atau dihargai terlebih dulu baru tersemangati. Dan yang lebih gawatnya lagi, kalau kebutuhan akan pujian ini kian berkembang menjadi tujuan. Ya. Kita berkarya, kita berbuat, kita menulis dsb dengan harapan orang2 akan memuji kita. Sudut pandang agama mengatakan kalau terobsesi pada pujian termasuk perbuatan riya. Dan riya adalah bagian dari syirik kecil, karena itu, waspadalah selalu dengan reaksi hati terhadap pujian. Camkan dalam hati bahwa semua pujian adalah milik Allah, karena Dialah yang telah memberi kita kelebihan dan kemampuan untuk berkarya. Kelebihan yang kapan pun Dia mau, Dia berhak mencabutnya.
Lalu, bagaimana dengan kritikan?
Di sini, saya ingin menganalogikannya dengan jamu pahit. Ya. Jamu tanpa ekstra madu, gula dan perasan jeruk nipis. Saat pertama mencicipinya, terutama bagi yang belum pernah minum jamu, apa yang terasa? Pahit bener pastinya, dan wajah yang spontan berkerut. Selain itu, rasa pahit juga umumnya lebih lama tinggal di lidah. Membuat kita enggan mengonsumsinya sering2, padahal, jamu pahit bagus buat kesehatan, tentu aja, jamu yang juga sesuai dengan kebutuhan fisik kita.
Nah, ketika dikritik, apalagi kritikan yang pedes bin nyelekit, apa reaksi yang muncul? Pastilah bukan senyum lebar, melainkan ekspresi wajah yang akan terlihat jelek saat bercermin :). Ya. Kritikan memang terasa pahit, namun kita juga membutuhkan "suplemen" ini agar resistensi kita bisa lebih terasah.
Sebelumnya, ijinkan saya membagi jenis2 kritik dalam versi saya, jenis yang mungkin nggak teman2 temui dalam versi yang sudah pernah ada ^_^ :
Pertama - just throw it away critic - kritik yang disampaikan dengan cara yang kasar, pedes, kalimatnya mengandung cacian dan hinaan, seperti misalnya : karyamu jelek! nggak mutu! Bagusan juga puisi ponakan gue yang masih SD! dsb. Untuk kritikan jenis ini, yang harus kita lakukan adalah just throw it away, buang jauh2, nggak perlu dipikirin lagi. Case closed.
Kedua - don't heart so much critic - ini kritik yang pada umumnya disampaikan, dan biasanya berasal dari pembaca awam. Kritik yang menyebut kekurangan karya kita sepenangkapan mereka, dan meski mereka tidak menyebut solusinya, minimal kita bisa memahami maksud komentar mereka. Misalnya nih, tema ceritanya biasa aja, klimaksnya kurang nendang, settingnya kurang detail, dsb.
Kritik jenis ini, nggak ada salahnya diterima sebagai masukan, untuk kemudian kita pilah-pilih, mana yang memang pantas kita ikuti dan terapkan. Karena kita juga nggak mungkin mampu mengikuti semua saran, apalagi, kritik pada kategori ini juga sangat bergantung pada selera. Bagaimanapun, satu hal harus kita sadari, bahwa pembaca adalah mereka yang bisa melihat karya kita tanpa pretensi apapun.
Ketiga - take it properly critic - ini kritik yang pantas kita cermati dengan saksama, yaitu kritik yang nggak hanya nyebut kekurangan karya kita tetapi juga menyertakan solusi dan saran yang positif. Kritik jenis ini layak untuk kita - sebagai penulis - mengapresiasinya. Karena jarang2 gitu loh, orang mau bersusah payah membaca dan menilai karya kita sekaligus mau ngasih masukan. Apalagi kalo saran itu berasal dari mereka yang memang kompeten. Wuih, masukan berharga banget tuh. Itu artinya orang itu juga punya keinginan baik dan ekspektasi yang baik terhadap karya kita selanjutnya.
Tetapi, respon terhadap kritik juga sangat tergantung pada kadar resistensi kita. Ada yang masih bisa manggut2 dan senyum2 biar pun udah diserang dengan kritik jenis pertama, tetapi ada juga yang langsung nangis darah saat diberi kritik jenis ketiga :). Kadar resistensi ini sangat bergantung pada karakter dan pengalaman hidup setiap orang. Mereka yang berkarakter koleris akan memberi respon berbeda dengan mereka yang cenderung melankolis. Mereka yang telah banyak makan asam garam dan mencecap pahit kehidupan, biasanya resistensinya akan lebih baik dibandingkan mereka yang hidupnya senantiasa lancar mulus aja. Ibarat makanan (lagi), terlalu sering makan makanan yang manis dan lezat, saat suatu hari disodori segelas jamu pahit, rasanya bukan lagi pahit, tapi pahit bener-bener sampe pingin vomit :)
Nah, berhubung saya juga nggak tahu kadar resistensi masing2, buat teman2 yang mungkin selama ini kurang berkenan untuk kritik2 sotoy saya, just tell me the truth, jadi ke depan saya bakal tutup mulut, nggak lagi2 berani ngeritik, hehe, dan lewat tulisan ini sekaligus mau minta maaf untuk kritik2 saya yang selama ini mungkin kurang dapat diterima.
Trus, so far, apa hubungannya tulisan ini dengan judulnya?
ho-ho, tulisan ini emang belum selesai, masih ada lanjutannya lagi, sebagaimana kita dianjurkan untuk berhenti makan sebelum kenyang, maka begitu jugalah dalam memposting, berhentilah sebelum bikin mata pembaca berair dan pindah ke lain channel :)
Part 1 dari catatan ini, sebenarnya masih versi recycling dari catatan jadoel saya yang judulnya "Dipuji or Dikritik, Kamu Pilih Mana?" Bedanya, kalau yang jadoel itu saya menganalogikan dengan permainan jungkat-jungkit, maka untuk yang ini, saya mencoba menganalogikan dengan...food. Ya. Makanan. My favourite :)
Apa yang kita rasakan saat mengecap makanan yang manis? Permen, es krim, or coklat misalnya? Pasti yang timbul adalah rasa nyaman dan terhibur, sehingga terkadang, sebagian kita cenderung melarikan diri dari persoalan dengan memakan makanan yang manis. Tetapi pada umumnya rasa manis ini hanya bertahan sekejap. Begitu melewati pangkal lidah dan meluncur ke tenggorokan, rasa manis itu pun akan lenyap. Dan meski pun makanan manis memiliki nilai gizi, kalau berlebihan mengonsumsinya, bisa berpotensi jadi penyakit, ya diabetes, obesitas, dsb.
Begitu jugalah dengan pujian. Saat kita dipuji, disanjung dan dihargai, kita akan merasa senang dan terhibur, apalagi, kalau pujian itu ditujukan untuk karya yang sudah kita buat dengan susah payah. Dalam frekuensi normal, pujian semacam ini memang terasa menyenangkan, kita jadi tersemangati karena merasa karya kita layak dihargai dan pengorbanan kita tak sia-sia.
Tetapi, pada titik ini kita juga harus mulai waspada, jangan sampai pujian berkembang menjadi kebutuhan. Kita butuh untuk dipuji atau dihargai terlebih dulu baru tersemangati. Dan yang lebih gawatnya lagi, kalau kebutuhan akan pujian ini kian berkembang menjadi tujuan. Ya. Kita berkarya, kita berbuat, kita menulis dsb dengan harapan orang2 akan memuji kita. Sudut pandang agama mengatakan kalau terobsesi pada pujian termasuk perbuatan riya. Dan riya adalah bagian dari syirik kecil, karena itu, waspadalah selalu dengan reaksi hati terhadap pujian. Camkan dalam hati bahwa semua pujian adalah milik Allah, karena Dialah yang telah memberi kita kelebihan dan kemampuan untuk berkarya. Kelebihan yang kapan pun Dia mau, Dia berhak mencabutnya.
Lalu, bagaimana dengan kritikan?
Di sini, saya ingin menganalogikannya dengan jamu pahit. Ya. Jamu tanpa ekstra madu, gula dan perasan jeruk nipis. Saat pertama mencicipinya, terutama bagi yang belum pernah minum jamu, apa yang terasa? Pahit bener pastinya, dan wajah yang spontan berkerut. Selain itu, rasa pahit juga umumnya lebih lama tinggal di lidah. Membuat kita enggan mengonsumsinya sering2, padahal, jamu pahit bagus buat kesehatan, tentu aja, jamu yang juga sesuai dengan kebutuhan fisik kita.
Nah, ketika dikritik, apalagi kritikan yang pedes bin nyelekit, apa reaksi yang muncul? Pastilah bukan senyum lebar, melainkan ekspresi wajah yang akan terlihat jelek saat bercermin :). Ya. Kritikan memang terasa pahit, namun kita juga membutuhkan "suplemen" ini agar resistensi kita bisa lebih terasah.
Sebelumnya, ijinkan saya membagi jenis2 kritik dalam versi saya, jenis yang mungkin nggak teman2 temui dalam versi yang sudah pernah ada ^_^ :
Pertama - just throw it away critic - kritik yang disampaikan dengan cara yang kasar, pedes, kalimatnya mengandung cacian dan hinaan, seperti misalnya : karyamu jelek! nggak mutu! Bagusan juga puisi ponakan gue yang masih SD! dsb. Untuk kritikan jenis ini, yang harus kita lakukan adalah just throw it away, buang jauh2, nggak perlu dipikirin lagi. Case closed.
Kedua - don't heart so much critic - ini kritik yang pada umumnya disampaikan, dan biasanya berasal dari pembaca awam. Kritik yang menyebut kekurangan karya kita sepenangkapan mereka, dan meski mereka tidak menyebut solusinya, minimal kita bisa memahami maksud komentar mereka. Misalnya nih, tema ceritanya biasa aja, klimaksnya kurang nendang, settingnya kurang detail, dsb.
Kritik jenis ini, nggak ada salahnya diterima sebagai masukan, untuk kemudian kita pilah-pilih, mana yang memang pantas kita ikuti dan terapkan. Karena kita juga nggak mungkin mampu mengikuti semua saran, apalagi, kritik pada kategori ini juga sangat bergantung pada selera. Bagaimanapun, satu hal harus kita sadari, bahwa pembaca adalah mereka yang bisa melihat karya kita tanpa pretensi apapun.
Ketiga - take it properly critic - ini kritik yang pantas kita cermati dengan saksama, yaitu kritik yang nggak hanya nyebut kekurangan karya kita tetapi juga menyertakan solusi dan saran yang positif. Kritik jenis ini layak untuk kita - sebagai penulis - mengapresiasinya. Karena jarang2 gitu loh, orang mau bersusah payah membaca dan menilai karya kita sekaligus mau ngasih masukan. Apalagi kalo saran itu berasal dari mereka yang memang kompeten. Wuih, masukan berharga banget tuh. Itu artinya orang itu juga punya keinginan baik dan ekspektasi yang baik terhadap karya kita selanjutnya.
Tetapi, respon terhadap kritik juga sangat tergantung pada kadar resistensi kita. Ada yang masih bisa manggut2 dan senyum2 biar pun udah diserang dengan kritik jenis pertama, tetapi ada juga yang langsung nangis darah saat diberi kritik jenis ketiga :). Kadar resistensi ini sangat bergantung pada karakter dan pengalaman hidup setiap orang. Mereka yang berkarakter koleris akan memberi respon berbeda dengan mereka yang cenderung melankolis. Mereka yang telah banyak makan asam garam dan mencecap pahit kehidupan, biasanya resistensinya akan lebih baik dibandingkan mereka yang hidupnya senantiasa lancar mulus aja. Ibarat makanan (lagi), terlalu sering makan makanan yang manis dan lezat, saat suatu hari disodori segelas jamu pahit, rasanya bukan lagi pahit, tapi pahit bener-bener sampe pingin vomit :)
Nah, berhubung saya juga nggak tahu kadar resistensi masing2, buat teman2 yang mungkin selama ini kurang berkenan untuk kritik2 sotoy saya, just tell me the truth, jadi ke depan saya bakal tutup mulut, nggak lagi2 berani ngeritik, hehe, dan lewat tulisan ini sekaligus mau minta maaf untuk kritik2 saya yang selama ini mungkin kurang dapat diterima.
Trus, so far, apa hubungannya tulisan ini dengan judulnya?
ho-ho, tulisan ini emang belum selesai, masih ada lanjutannya lagi, sebagaimana kita dianjurkan untuk berhenti makan sebelum kenyang, maka begitu jugalah dalam memposting, berhentilah sebelum bikin mata pembaca berair dan pindah ke lain channel :)
Novel Yang Kedua cetak ulang :-)
Wednesday, 10 October 2012
Jumat sore, 4 okt lalu, tanpa ada kbr via tlp sebelumnya, pas jemput si bb dakocan kiriman yusi hasil menang lomba blog kosmetik halal di agen jne, eh ternyata ada ekstra paket dari bukune. Lihat bentuknya sih, udah jelas kalo itu buku. Pertanyaannya, buku apa? Semula, yang melintas dalam dugaan saya adalah paket dari mbak editor yang mau luncurin novel duet, dan itu salah satu kirimannya buat saya, hehe, kepedean ya :)
Tapi, dugaan yang kedua melintas juga nggak kalah pede, jangan-jangan, itu bukti terbit. Nggak sabar, saya langsung buka di depan agen, sambil menunggu suami bayar pulsa di ATM, dan ternyata, Alhamdulillaaaah.....dugaan yang kedualah yang dikabulkan Allah. Dua eks buku itu, memang bukti terbit cetakan ke-3 novel Yang Kedua, bersama sepucuk surat cinta :)
Jujur, sempat melintas rasa skeptis saya untuk novel ini, mengingat ratingnya di goodread yang masih di bawah romance sebelumnya Hati Memilih, begitu pun dari review beberapa teman saya yang lebih suka Hati Memilih ketimbang yang ini. Hanya satu hal yang menguatkan keyakinan saya, yaitu niat yang baik insya Allah akan disampaikan Allah pada tujuan yang baik juga.
Saya menitipkan satu pesan dalam novel ini. Pesan tentang makna kesejatian cinta - cinta yang bermanifestasi dalam bentuk pengorbanan dan perjuangan, bukan sekadar cinta yang hanya bisa diucapkan oleh bibir. Harapan saya, pesan itu bisa nyampe ke pembaca, dan meski cinta sejati itu terasa musykil, saya ingin semua orang tetap tak putus harapan, bahwa kesejatian cinta itu - ada.
Terima kasih saya buat para pembaca, editor saya mbak Iwied, Bukune, juga teman2 yang telah sudi mereview novel ini, tanpa kalian, saya mungkin selamanya akan jadi pengkhayal doank, hehe, terima kasih untuk kesempatan yang diberikan pada saya mewujudkan satu demi satu khayalan itu. Semoga "khayalan" saya selanjutnya, masih bisa kalian terima dan apresiasi ya :)
Tapi, dugaan yang kedua melintas juga nggak kalah pede, jangan-jangan, itu bukti terbit. Nggak sabar, saya langsung buka di depan agen, sambil menunggu suami bayar pulsa di ATM, dan ternyata, Alhamdulillaaaah.....dugaan yang kedualah yang dikabulkan Allah. Dua eks buku itu, memang bukti terbit cetakan ke-3 novel Yang Kedua, bersama sepucuk surat cinta :)
Jujur, sempat melintas rasa skeptis saya untuk novel ini, mengingat ratingnya di goodread yang masih di bawah romance sebelumnya Hati Memilih, begitu pun dari review beberapa teman saya yang lebih suka Hati Memilih ketimbang yang ini. Hanya satu hal yang menguatkan keyakinan saya, yaitu niat yang baik insya Allah akan disampaikan Allah pada tujuan yang baik juga.
Saya menitipkan satu pesan dalam novel ini. Pesan tentang makna kesejatian cinta - cinta yang bermanifestasi dalam bentuk pengorbanan dan perjuangan, bukan sekadar cinta yang hanya bisa diucapkan oleh bibir. Harapan saya, pesan itu bisa nyampe ke pembaca, dan meski cinta sejati itu terasa musykil, saya ingin semua orang tetap tak putus harapan, bahwa kesejatian cinta itu - ada.
Terima kasih saya buat para pembaca, editor saya mbak Iwied, Bukune, juga teman2 yang telah sudi mereview novel ini, tanpa kalian, saya mungkin selamanya akan jadi pengkhayal doank, hehe, terima kasih untuk kesempatan yang diberikan pada saya mewujudkan satu demi satu khayalan itu. Semoga "khayalan" saya selanjutnya, masih bisa kalian terima dan apresiasi ya :)
WAWANCARA PING! AMFB di ProResensi tgl 29 Sep 2012
Wednesday, 3 October 2012
Alhamdulillah, setelah novel saya "Yang Kedua" berkesempatan mengisi obrolan di ProResensi pada bulan Ramadhan lalu, novel duet saya bareng Shabrina WS yang berjudul "Ping! A Message From Borneo" berkesempatan juga mengisi jadwal obrolan pada hari Sabtu tanggal 29 Sep jam 16.30 wib.
Berikut ini kutipan obrolan saya (RE) dan mbak n mas penyiar (P) dalam obrolan yang berlangsung kira2 lima belas menit itu :
P : Gimana sih bisa kenal dengan Shabrina lalu tiba-tiba muncul ide bersama untuk nulis novel ini dan ikut lomba?
RE : Saya kenal dengan Shabrina WS di facebook sekitar tahun 2010, lalu sekarang kita bergabung di grup facebook Be A Writer dan di situ kita tambah intens berkomunikasi terutama seputar dunia penulisan. Shabrina kemudian pernah meneruskan imel ke saya berisi Petisi Orang Utan, di mana di dalamnya berisi himbauan untuk ikut mengampanyekan pentingnya menjaga habitat orang utan yang hampir punah termasuk tempat tinggalnya yaitu hutan Kalimantan yang kian tergerus oleh pembukaan lahan sawit. Dari sinilah awalnya ide dan motivasi itu. Kami berdua lalu bersama-sama menyusun sinopsis, dan saat baru mulai menulis, pas Bentang Belia ngadain lomba 30 hari 30 buku Bentnag Belia, kita berdua lalu rembugan dan akhirnya sepakat untuk menulis naskah ini untuk diikutkan dalam lomba tsb.
P : Mbak berdua nggak tinggal di Kalimantan, kok bisa kepikiran sih untuk mengangkat cerita tentang orang utan di Kalimantan?
RE : Motivasi awalnya memang dari petisi tsb, dan kita juga nggak berniat muluk-muluk, hanya berharap lewat novel ini, para pembacanya terutama pembaca remaja, karena novel ini segmennya memang buat remaja, agar lebih mengetahui kondisi sebenarnya yang kini tengah terjadi pada salah satu kekayaan yang kita miliki, yaitu orang utan dan hutan Kalimantan yang telah kian punah, dan berharap setidak-tidaknya tumbuh rasa kepedulian kita terhadap lingkungan.
P : Untuk risetnya, apakah pergi langsung ke Kalimantan atau riset dari internet?
RE : Kita berdua nggak pernah ke Kalimantan (aslinya mupeng ^_^), jadi sebagian besar riset dari internet, dan sebagian besar dilakukan Shabrina karena beliau yang menulis bagian cerita si anak orang utan bernama Ping
P : Ke depan apakah punya niat mengeksplorasi cara penulisan yang berbeda lagi?
RE : Insya Allah, inginnya sih menulis tema-tema sosio kultur tetapi penyampaiannya dengan bahasa yang ringan seperti novel Ping agar bisa menjangkau pembaca remaja juga dengan harapan mereka juga bisa suka dan terinspirasi dengan tema-tema semacam ini
Berikut ini kutipan obrolan saya (RE) dan mbak n mas penyiar (P) dalam obrolan yang berlangsung kira2 lima belas menit itu :
P : Gimana sih bisa kenal dengan Shabrina lalu tiba-tiba muncul ide bersama untuk nulis novel ini dan ikut lomba?
RE : Saya kenal dengan Shabrina WS di facebook sekitar tahun 2010, lalu sekarang kita bergabung di grup facebook Be A Writer dan di situ kita tambah intens berkomunikasi terutama seputar dunia penulisan. Shabrina kemudian pernah meneruskan imel ke saya berisi Petisi Orang Utan, di mana di dalamnya berisi himbauan untuk ikut mengampanyekan pentingnya menjaga habitat orang utan yang hampir punah termasuk tempat tinggalnya yaitu hutan Kalimantan yang kian tergerus oleh pembukaan lahan sawit. Dari sinilah awalnya ide dan motivasi itu. Kami berdua lalu bersama-sama menyusun sinopsis, dan saat baru mulai menulis, pas Bentang Belia ngadain lomba 30 hari 30 buku Bentnag Belia, kita berdua lalu rembugan dan akhirnya sepakat untuk menulis naskah ini untuk diikutkan dalam lomba tsb.
P : Mbak berdua nggak tinggal di Kalimantan, kok bisa kepikiran sih untuk mengangkat cerita tentang orang utan di Kalimantan?
RE : Motivasi awalnya memang dari petisi tsb, dan kita juga nggak berniat muluk-muluk, hanya berharap lewat novel ini, para pembacanya terutama pembaca remaja, karena novel ini segmennya memang buat remaja, agar lebih mengetahui kondisi sebenarnya yang kini tengah terjadi pada salah satu kekayaan yang kita miliki, yaitu orang utan dan hutan Kalimantan yang telah kian punah, dan berharap setidak-tidaknya tumbuh rasa kepedulian kita terhadap lingkungan.
P : Untuk risetnya, apakah pergi langsung ke Kalimantan atau riset dari internet?
RE : Kita berdua nggak pernah ke Kalimantan (aslinya mupeng ^_^), jadi sebagian besar riset dari internet, dan sebagian besar dilakukan Shabrina karena beliau yang menulis bagian cerita si anak orang utan bernama Ping
P : Ke depan apakah punya niat mengeksplorasi cara penulisan yang berbeda lagi?
RE : Insya Allah, inginnya sih menulis tema-tema sosio kultur tetapi penyampaiannya dengan bahasa yang ringan seperti novel Ping agar bisa menjangkau pembaca remaja juga dengan harapan mereka juga bisa suka dan terinspirasi dengan tema-tema semacam ini
PRODUKTIVITAS vs TIME SCHEDULING
Tuesday, 2 October 2012
Satu tahun bisa menulis beberapa buku? Ini bukan hal yang mustahil. Tetapi, mohon untuk menggarisbawahi kata menulis, ya, menulis, bukan menerbitkan. Karena menerbitkan adalah hal lain lagi. Di dalamnya ada faktor keterlibatan elemen-elemen lain selain penulis yang akan mempengaruhi terbit tidaknya sebuah buku, dan kalau terbit, berapa lama satu buku akan memakan waktu sebelum layak dilempar ke pasaran. Buku yang ditulis berdasarkan pesanan atau kontrak, mungkin penerbitannya tidak akan memakan waktu terlalu lama, karena sudah punya tenggat jadwal terbit, tetapi kalau untuk naskah yang baru diusulkan oleh penulis kepada penerbit, ini sangat relatif.
Buat teman-teman yang ingin serius menulis (buku), tak ada salahnya untuk mulai menerapkan time scheduling dalam menulis sehingga produktivitas bisa berlangsung stabil dan mood menulis pun insya Allah bisa terjaga. Percaya deh, membiarkan satu naskah nggak selesai dalam jangka waktu lama bisa bikin kita males untuk menyelesaikannya :)
Apa yang akan saya bagi ini, juga mohon digarisbawahi bahwa ini lebih layak disebut cita-cita, bukan suatu pedoman yang sudah saya terapkan berkali-kali. Sejauh ini, saya masih penulis yang fleksibel, dalam artian kecepatan menulis sangat tergantung pada deadline, kalau deadline nya mepet, ya nulisnya dipaksain supaya cepet, kalo lama, ya molor2 teruslah jadinya :)
Setiap orang juga pastinya punya kecepatan yang berbeda-beda saat menulis. Jadi time scheduling di bawah ini, saya susun berdasarkan kecepatan rata-rata saya saat menulis. Yang bisa lebih cepet dari ini, ya silahkan saja, namanya juga time schedule emak2 plus pekerja, jelas bukan patokan yang standar :)
1. Perencanaan (1 - 2 minggu)
Jangan pernah mengabaikan step yang satu ini. Karena dengan perencanaan yang baik, maka resiko menghadapi writer's block bisa diminimalisir dan proses menulis pun bisa lebih terkontrol.
Pada tahap ini, yang perlu kita persiapkan adalah pondasi dari sebuah buku, meliputi : sinopsis, outline per bab, referensi yang diperlukan, karakter, alur, plot dan setting (untuk penulisan novel), dan sebagainya.
2. Proses penulisan (2 - 3 bulan)
Dengan asumsi dalam sehari anda bisa menulis rata-rata 2-3 halaman dan total halaman buku yang akan ditulis berkisar pada 150 - 180 hal A4. Jika ada hari yang bolong menulis, sebaiknya segera ditutupi kebolongan itu pada hari yang lain.
Pada tahap ini, rintangan terberat adalah menjaga ritme dan kedisiplinan dalam menulis. Setiap orang punya cara berbeda dalam menjaga ritme ini. Kalau saya, charge yang paling penting adalah buku. Jadi, sepanjang proses menyelesaikan sebuah buku/novel, saya membaca sekurang-kurangnya satu buku sebagai pendamping. Juga penting untuk menetapkan deadline untuk diri sendiri. Jika terserang rasa malas, lelah, dsb, berhentilah sejenak, tetapi jangan kelamaan dan keenakan, karena menciptakan kebolongan jeda menulis yang terlalu lama bisa mengurangi kemampuan dan semangat.
3. Masa jeda (1-2 minggu)
Setelah menyelesaikan sebuah naskah buku, tinggalkan naskah anda dan lupakan. Kondisikan pikiran kita sampai mengalami rada2 amnesia dengan tulisan kita sendiri. Gunanya adalah agar pada tahap berikutnya kita bisa menilai tulisan kita dengan kacamata yang lebih objektif sehingga bisa lebih jeli saat mengoreksi kekurangan dan kesalahan.
4. Masa baca ulang dan koreksi/edit (1-2 minggu)
Gunakan tahap final ini untuk membaca saksama naskah anda dan melakukan koreksi terhadap hal-hal yang dirasa kurang atau meleset.
Jadi, secara keseluruhan, tahap2 penulisan buku dengan standar di atas berlangsung untuk 3-4 bulan, atau menulis 3-4 buku dalam setahun. Bagi yang menulis novel, mungkin pernah mengalami, tiba-tiba di tengah jalan mendadak muncul ide untuk merubah jalan cerita. Silahkan saja! Tetapi tetap berpedoman pada sinopsis yang telah dibuat. Kalau perlu buat cabang2 rencana. Saya ingat waktu kecil dulu sering baca buku cerita yang endingnya ditentukan sendiri. Jadi setelah baca sampe halaman sekian, ada perintah, kalo mau lanjut A ke hal. sekian, kalo mau lanjut B ke hal. sekian, dst. Nah, kira2 seperti itulah cabang2 yang bisa kita rencanakan jika hendak sedikit bergeser dari rencana semula.
Sampe sini dulu ya. Semoga bermanfaat ^_^
Buat teman-teman yang ingin serius menulis (buku), tak ada salahnya untuk mulai menerapkan time scheduling dalam menulis sehingga produktivitas bisa berlangsung stabil dan mood menulis pun insya Allah bisa terjaga. Percaya deh, membiarkan satu naskah nggak selesai dalam jangka waktu lama bisa bikin kita males untuk menyelesaikannya :)
Apa yang akan saya bagi ini, juga mohon digarisbawahi bahwa ini lebih layak disebut cita-cita, bukan suatu pedoman yang sudah saya terapkan berkali-kali. Sejauh ini, saya masih penulis yang fleksibel, dalam artian kecepatan menulis sangat tergantung pada deadline, kalau deadline nya mepet, ya nulisnya dipaksain supaya cepet, kalo lama, ya molor2 teruslah jadinya :)
Setiap orang juga pastinya punya kecepatan yang berbeda-beda saat menulis. Jadi time scheduling di bawah ini, saya susun berdasarkan kecepatan rata-rata saya saat menulis. Yang bisa lebih cepet dari ini, ya silahkan saja, namanya juga time schedule emak2 plus pekerja, jelas bukan patokan yang standar :)
1. Perencanaan (1 - 2 minggu)
Jangan pernah mengabaikan step yang satu ini. Karena dengan perencanaan yang baik, maka resiko menghadapi writer's block bisa diminimalisir dan proses menulis pun bisa lebih terkontrol.
Pada tahap ini, yang perlu kita persiapkan adalah pondasi dari sebuah buku, meliputi : sinopsis, outline per bab, referensi yang diperlukan, karakter, alur, plot dan setting (untuk penulisan novel), dan sebagainya.
2. Proses penulisan (2 - 3 bulan)
Dengan asumsi dalam sehari anda bisa menulis rata-rata 2-3 halaman dan total halaman buku yang akan ditulis berkisar pada 150 - 180 hal A4. Jika ada hari yang bolong menulis, sebaiknya segera ditutupi kebolongan itu pada hari yang lain.
Pada tahap ini, rintangan terberat adalah menjaga ritme dan kedisiplinan dalam menulis. Setiap orang punya cara berbeda dalam menjaga ritme ini. Kalau saya, charge yang paling penting adalah buku. Jadi, sepanjang proses menyelesaikan sebuah buku/novel, saya membaca sekurang-kurangnya satu buku sebagai pendamping. Juga penting untuk menetapkan deadline untuk diri sendiri. Jika terserang rasa malas, lelah, dsb, berhentilah sejenak, tetapi jangan kelamaan dan keenakan, karena menciptakan kebolongan jeda menulis yang terlalu lama bisa mengurangi kemampuan dan semangat.
3. Masa jeda (1-2 minggu)
Setelah menyelesaikan sebuah naskah buku, tinggalkan naskah anda dan lupakan. Kondisikan pikiran kita sampai mengalami rada2 amnesia dengan tulisan kita sendiri. Gunanya adalah agar pada tahap berikutnya kita bisa menilai tulisan kita dengan kacamata yang lebih objektif sehingga bisa lebih jeli saat mengoreksi kekurangan dan kesalahan.
4. Masa baca ulang dan koreksi/edit (1-2 minggu)
Gunakan tahap final ini untuk membaca saksama naskah anda dan melakukan koreksi terhadap hal-hal yang dirasa kurang atau meleset.
Jadi, secara keseluruhan, tahap2 penulisan buku dengan standar di atas berlangsung untuk 3-4 bulan, atau menulis 3-4 buku dalam setahun. Bagi yang menulis novel, mungkin pernah mengalami, tiba-tiba di tengah jalan mendadak muncul ide untuk merubah jalan cerita. Silahkan saja! Tetapi tetap berpedoman pada sinopsis yang telah dibuat. Kalau perlu buat cabang2 rencana. Saya ingat waktu kecil dulu sering baca buku cerita yang endingnya ditentukan sendiri. Jadi setelah baca sampe halaman sekian, ada perintah, kalo mau lanjut A ke hal. sekian, kalo mau lanjut B ke hal. sekian, dst. Nah, kira2 seperti itulah cabang2 yang bisa kita rencanakan jika hendak sedikit bergeser dari rencana semula.
Sampe sini dulu ya. Semoga bermanfaat ^_^
Bab 5 dari Bagian 3 - Yang Kedua
Thursday, 20 September 2012
Tempo hari saya udah memposting bagian cerita yang tidak ditampilkan dalam versi cetak novel Hati Memilih. Kali ini saya akan memposting bagian yang juga mengalami nasib serupa dari novel saya Yang Kedua, alias tidak ditampilkan saat sudah naik cetak, lebih kurang dengan alasan yang sama, yaitu untuk efisiensi cerita. Bagi yang udah baca, selamat menebak, kira2 cerita ini berhubungan dengan siapa dan siapa pemuda dalam penggalan kisah ini ^_^ Ini dia :
-------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------
Suatu pagi, tujuh tahun silam,
Pria itu duduk di sofa dengan gelisah. Sesekali
menyatukan buku kedua tangannya dan meremas jemarinya. Memutar matanya pada
sekeliling dengan ekspresi mengambang, tanpa ada selera apalagi rasa tertarik.
Karena sesungguhnya ia pun telah hafal nyaris setiap inchi dan lekuk liku ruang
tamu rumah ini. Rumah tua yang menjadi destinasinya setiap kali ia menginginkan
keberuntungan terjadi pada dirinya, ataupun saat ingin menghindarkan diri dari
hal-hal yang ia benci.
Terkadang, nasehat guru agamanya saat SMA dulu sempat
bergaung di telinganya. Jangan pernah menggantungkan nasib pada selainNya.
Ataupun meyakini kebenaran ramalan terhadap peristiwa yang belum terjadi. Namun
nasehat itu setiap kali pula harus terkalahkan oleh keinginannya untuk
lagi-lagi melangkah kemari.
“Sudah lama?” Teguran suara berat itu mengakhiri
gelisahnya. Ia berdiri. Menyalami seorang pria seusia ayahnya yang
menghampirinya dari belakang. Pria bertubuh gemuk itu lalu duduk di kursi sofa
dihadapannya dan mulai menyalakan cerutunya.
“Lumayan,” Ia menjawab singkat. Dari ekspresi wajahnya
jelas tergambar bahwa kali ini ia tak ingin terlalu lama berbasa-basi.
“Ada apa lagi sekarang? Ingin mendapatkan perempuan yang
kau incar, hm?” Pria itu mengepulkan asap cerutunya, menatapnya dengan tatapan
menyimpan senyum.
“Bukan. Malah sebaliknya. Aku justru ingin mencari cara
agar bisa terlepas dari wanita yang akan dijodohkan denganku.”
“Oh ya? Menarik sekali. Tidak menyangka ayahmu punya niat
‘suci’. Lalu, kenapa kamu berpikir untuk menolaknya?” Pria gemuk itu
menyandarkan punggungnya ke sofa. Tatapannya menyipit memandang pria muda
didepannya yang mulai menggaruk-garuk pipinya dengan gelisah.
“Bukan ayahku. Tapi ibuku.” Suaranya meriap getir.
“Penyakit komplikasinya membuat akhir-akhir ini kondisinya terus menurun.
Katanya, dia ingin aku menikah sebelum dia meninggal. Dan sudah sejak sebulan
ini, tiada hari tanpa bibirnya menyebut permintaan konyol itu.”
“Lalu?”
Ia terlebih dulu menghembus nafasnya kuat-kuat sebelum
menjawab. “Aku mengenal baik wanita itu. Dia tetangga kami sejak kecil.
Sebenarnya, dia cantik, juga baik, sayang, belum lama ini rahimnya harus
diangkat. Ada infeksi ganas menyerangnya. Begitu yang aku dengar. Sebenarnya
aku tak terlalu ambil pusing dengan rahimnya, hanya saja, aku belum ingin menikah!
Dan sekarang, aku yang jadi bingung sendiri. Apapun caranya, aku ingin
pernikahan itu nggak pernah ada!”
“Boleh....aku lihat foto wanita itu?”
Ia lalu mengeluarkan dompetnya. Telah belasan kali datang
kemari membuatnya hafal luar kepala apa yang harus ia bawa setiap kali datang
untuk meminta pertolongan.
Pria separoh baya itu sejenak mengamati selembar foto
yang telah berpindah ke tangannya. Tampak serius saat jemarinya membolak-balik
dan matanya membeliak lalu kembali menyipit.
“Saranku, sebaiknya kau penuhi saja permintaan ibumu.”
“Apa?” Saran itu tak urung membuatnya nyaris terlonjak.
“Ya. Menikahlah dengannya. Dia keberuntungan untukmu.
Meski dia tak bisa memberimu keturunan, tapi dia adalah dewi fortuna untukmu
mereguk gelimang materi. Yang perlu kau lakukan hanya bersabar, dan bawa ia
pergi jauh dari keluarganya. Aura wajahnya menghembuskan isyarat bahwa kalian
akan lebih cepat kaya kalau terbentang jarak dari orang-orang yang selama ini
ada di sekelilingnya.”
Ia terhenyak. Tak menyangka kalau ‘analisa’ pria
andalannya itu hari ini justru menghasilkan alternatif yang sangat kontradiktif
dengan keinginannnya.
Tapi, apa alibi yang pantas ia tegakkan untuk membantah
atau menolak? Sementara selama ini nyaris semua kemujuran yang ia raih ataupun
menghindarkan diri dari kesialan, diakuinya tak terlepas dari campur tangan
pria ini?
“Sekarang pulanglah. Katakan ‘ya’ didepan ibumu sebelum
dia menemui ajalnya dan kau hanya bisa menangisi penyesalanmu. Dan ingat,
setelah ini, jangan pernah lagi hubungi aku. Sudah saatnya kau bertobat anak
muda, sebelum Tuhan menghukum kita berdua atas semua kerjasama kita yang begitu
solid selama ini, heheheh...”
Pria itu terkekeh-kekeh. Kekehan yang berubah
menjadi tawa lebar saat selembar amplop tebal menyelip manis dalam genggaman
jemarinya yang gempal. Mengiringi kepergian sang pemuda dengan ekspresi yang
sama sekali berbeda dengan saat kedatangannya beberapa menit lalu.
Bab 1 - Camelia
Wednesday, 5 September 2012
Dalam proses revisi sebuah novel, ada bagian yang ditambah dan dikurangi itu biasa, dengan tujuan agar seluruh cerita bisa bergerak secara utuh, efektif dan harmonis. Nah, kalo sesudah tayangan film atau sinetron, kita terkadang disuguhkan tayangan yang di-cut karena ada kesalahan-kesalahan pengambilan adegan di dalamnya, maka di sini saya juga akan memuat bagian cerita yang di-cut dari novel saya yang sudah terbit. Bagian yang nggak akan ditemui pembaca dalam versi bukunya namun masih tersimpan dalam versi aslinya pra-revisi.
Nah, untuk yang di bawah ini, adalah isi Bab 1 dari novel Hati Memilih (masih dengan judul awal Camelia) yang udah di-cut alias nggak kepake. Yuk yang lagi suntuk boleh baca : :)
----------------------------------------------------------------------
Nah, untuk yang di bawah ini, adalah isi Bab 1 dari novel Hati Memilih (masih dengan judul awal Camelia) yang udah di-cut alias nggak kepake. Yuk yang lagi suntuk boleh baca : :)
----------------------------------------------------------------------
Baru
jam delapan. Malam masih muda. Papa dan mama pada jam-jam ini biasanya baru
tiba di rumah. Lalu mereka berdua akan mengaso
sejenak, dan mama yang kemudian akan menggedor
pintu kamarku untuk mengajak makan malam bersama, dengan hidangan yang mereka
beli saat mampir di restoran cepat saji. Berhubung mamaku adalah wanita karir
yang sangat menghargai quality time, maka
baginya kebersamaan di meja makan jauh
lebih berharga ketimbang menghabiskan waktu dengan bersibuk-sibuk di dapur.
Jika
Ady adik satu-satuku yang super duper aktif itu sedang ada di rumah, maka acara
makan malam kami akan komplit. Masing-masing saling berbagi cerita di meja
makan, tak peduli apakah makanan yang dibeli itu enak atau tidak. Terlalu pedas
atau kemanisan. Terasa asin atau hambar. Pas semua bumbunya atau malah terlalu
ekstrim.
Diantara
kami bertiga – aku, Ady dan papa - hanya papa, satu-satunya makhluk di rumah yang
berani protes jika makanannya kurang enak. Sedangkan aku dan Ady, AMAT SANGAT
jarang melancarkan protes, hingga papa menjuluki lidah kami berdua ‘lidah
buaya’, tak bisa mengenal mana makanan enak dan mana yang tidak. Ujung-ujungnya
papa akan meminta mama untuk memasak sendiri, karena sebenarnya, masakan mama
jauuuh lebih enak.
Tapi
itu dulu. Tepatnya setahun lalu, suasana kehangatan saat makan malam bersama
masih kunikmati, sebelum lembaran putih berstempel Conoco Company itu
‘memerintahkanku’ untuk segera mengepak pakaian dan memindahkan separuh isi lemariku ke
apartemen Paman Fuad.
Bagaimanapun,
aku tetap merasa beruntung. Tidak setiap tahunnya perusahaan gas alam cair itu
memprogramkan beasiswa pascasarjana. Paling banter hanya sebatas bantuan uang
kuliah beberapa semester di perguruan tinggi lokal. Dan bersama dua puluhan
orang yang lolos, kudapatkan
satu kursi magister akuntansi di universitas swasta yang menjalin kerjasama
dengan Conoco itu.
Hm.
Iseng aku memutar-mutar arloji yang terasa longgar di pergelangan tanganku. Tak
terasa, genap setahun, telah kutinggalkan acara makan malam bersama mama, papa
dan juga Ady. Rutinitas yang semula masih kerap menghantuiku dengan rasa kangen.
Apalagi, dalam setahun ini, aku nyaris tak pernah pulang. Meski jarak penerbangan
Jakarta – Tanjungpinang hanya butuh waktu kurang dari dua jam, tetap saja aku
merasa lebih penting untuk berhemat, hemat uang dan hemat waktu. Jadi tak perlu heran kalau masa studi pendek yang
diprogramkan untuk delapan belas hingga dua puluh empat bulan, menjadi
pilihanku saat mengisi formulir paket setelah ujian semester pertamaku
berakhir. Tahu kenapa? Ssst, jangan dulu bilang pada paman Fuad kalau
sesungguhnya aku sudah lama tidak betah, dan berencana untuk pindah ke
kost-kostan saja.
Sebelumnya
kuharap kau mau mendengar ceritaku dulu tentang kebiasaanku untuk nongkrong di balkon.
Di rumahku dulu aku punya balkon persis didepan kamar tidurku. Bentuknya
sebenarnya tidak terlalu istimewa sih. Nyaris tak ada bedanya dengan balkon
biasa. Namun bagiku balkon adalah sepetak ruang privasi yang paling nyaman.
Karena
disana, aku memiliki jendela pandang yang lebih luas saat menikmati suasana di
sekeliling rumah, mulai dari lalu lalang para pejalan kaki, pedagang keliling,
juga sesekali kendaraan roda dua atau empat yang melintasi jalan kecil depan
rumahku. Sedangkan di malam hari, balkon menjadi tempat paling indah bagiku saat
menikmati pemandangan di langit dengan bintang yang berkerlap kerlip dan sang bulan
yang memantulkan cahaya matahari dalam bias warna yang putih lembut.
Ah.
Jangan kau bayangkan aku duduk di balkon bersama pacarku. Aku melakukannya
sendirian saja. Bertemankan alunan instrumentalia yang mengalir pelan melalui iPod,
lalu membiarkan angin malam yang sejuk menerpa dan meredupkan kedua mataku hingga
akhirnya aku sering menemukan diriku terbangun di tengah malam dalam posisi
setengah berbaring dan menyelonjorkan kaki di atas kursi.
Tapi
di apartemen paman Fuad ini, anehnya ukuran balkonnya hanya seupil. Tak sampai
separuh ukuran balkon rumahku. Letaknya didepan ruang keluarga yang disesaki
pula oleh tanaman bunga yang berjejer didalam pot. Tidak ada kursi untuk bersantai,
dan tak seorang pun penghuni apartemen ini yang senang berleha-leha di balkon.
Maka,
aku pun cukup tahu diri dengan menggantikan kebiasaanku itu dengan duduk di
tepi jendela kamar
saja. Kebetulan, ranjang kamar ini persis berada dibawah jendela, jadi hanya
dengan menyilangkan kedua kaki dan meletakkan kedua tanganku di tepi jendela seraya
menumpangkan dagu diatasnya, cukuplah bagiku untuk bisa menikmati pemandangan
diluar sana yang tentu saja jauh berbeda dengan pemandangan depan rumahku dulu.
Paman
Fuad adalah sepupu mamaku, istrinya bernama bibi Salma. Mereka berdualah yang
telah menawariku untuk tinggal di apartemennya saat papa mengabarkan bahwa aku
mendapat beasiswa untuk kuliah di Jakarta.
Sejauh
ini, apa yang bisa kukatakan tentang paman Fuad dan bibi Salma, bahwa mereka sebenarnya
sangat baik. Tapi tidak dengan keempat anaknya yang …. punya tabiat sangat buruk
dan bertolak belakang, juga seringkali membuat ritme jantungku meningkat dan kepalaku berulang
kali menggeleng-geleng meski tak ada suara musik dari headphone yang tengah menyumbat
telingaku.
Tunggu!
Sepertinya aku baru saja melihat sesuatu yang ‘menarik’. Sosok sepasang remaja yang
masih mengenakan seragam putih biru dan berjalan bergandengan saat menyeberang
jalan itu, tentu saja aku mengenalnya. Dia Anita, putri bungsu paman Fuad,
bersama seorang cowok yang juga berseragam yang sama, dan ini bukan kali pertama aku memergoki mereka berjalan
berduaan pada jam-jam begini.
Padahal
usia Anita baru lima belas,
tapi lihatlah! Sekarang ini sudah hampir jam sembilan. Setahuku seorang pelajar
seperti Anita, dengan segala kegiatan ekskul yang seabreg sekalipun, tak semestinya
pulang selarut ini. Tapi pada kenyataannya akulah yang selalu menjejakkan kaki
di apartemen ini berjam-jam lebih dulu jauh sebelum kepulangan Anita.
Kedua
remaja itu berhenti, persis didepan apartemen. Dan remaja pria yang tubuhnya
sekurus tiang listrik itu perlahan membelai rambut Anita lalu mencium gadis itu
– astaga - tepat di bibirnya!
Oke.
Kau boleh bilang aku kampungan. Dan kau juga boleh menganggap kalau itu bukan
lagi pemandangan aneh. Apalagi dilakukan oleh seorang gadis yang dibesarkan di
kota metropolitan. Tapi tetap saja perbuatan
mereka barusan membuatku sesaat tercegat
oleh kekagetan yang akut. Tak pernah ada dalam sejarahnya, papa dan mama
mengijinkanku berkeliaran diatas jam delapan malam dengan masih berseragam
sekolah. Apalagi…berciuman!
Ting
tong! Aku segera meloncat. Itu pasti Anita.
Awalnya aku berniat untuk
keluar kamar saja. Karena aku seringkali merasa tak nyaman jika
harus mendengar dan menyaksikan apa yang dilakukan Anita setiap kali ia pulang
sekolah. Mencampakkan tasnya begitu saja ke tempat tidur, membuka seragamnya,
lalu membuka dan
menutup lemari pakaiannya dengan cara membanting, terakhir.…menghidupkan
televisi dan memutar musik di
CD player bersamaan! Yeah. Telah setahun
aku ‘menumpang’ di kamarnya,
namun sampai hari ini ia seakan tak pernah menganggap aku ada.
Sampai
hari ini aku bahkan masih dapat menghitung dengan jari berapa kali ia pernah
berbicara denganku. Mungkin saja sesungguhnya ia merasa kesal atau muak dengan
kehadiranku. Merasa tak rela saat satu bagian rak dari lemarinya harus ia sisihkan untuk berbagi denganku. Atau karena
privasinya yang menjadi sedikit terusik saat aku juga tengah berada didalam
kamar. Satu yang pasti, aku tak pernah sudi berbagi ranjang
dengannya. Lebih baik aku tidur di lantai, diatas extra bed yang kutarik setiap malam dan kudorong kembali ke kolong tempat tidur di pagi
harinya.
“Anita,
darimana saja kamu? Malam sekali baru pulang?” Aku mengurungkan niat untuk keluar kamar.
Suara paman Fuad terdengar lantang dan nadanya juga sama sekali tidak ramah. Kebiasaan
Paman Fuad kalau sudah marah-marah, mengerikan! Sekurang-kurangnya kau akan mendengar
lebih dari tiga kali bunyi barang yang pecah karena dibanting ataupun
dilemparkan ke dinding. Dan dari volume suaranya barusan, firasatku mengatakan
bahwa malam ini gendang telingaku akan kembali mendengar bunyi sesuatu yang pecah.
Aku
tak mendengar jawaban Anita. Ia pasti tak berani menatap mata papanya yang saat
marah akan mengilat seperti belati.
Selanjutnya apa yang terdengar adalah suara paman Fuad yang terus meningkat, mengeras,
bahkan sesekali berteriak. Aku tak begitu jelas mendengar semua yang ia katakan, tapi telingaku sempat
mendengar ucapan ‘gadis liar’, ‘anak nakal’, ‘bunting’, ‘memalukan’, lalu ….praangg!
Bunyi pecahan pertama.
Tak
perlu menunggu lama untuk mendengar bunyi susulan berikutnya. Pecahan kedua,
ketiga, terakhir…kudengar suara Anita yang mengaduh kesakitan. Mungkin saja Paman
Fuad sudah menampar atau memukulnya dengan keras.
Pintu
kamar terbuka, didorong oleh kekuatan penuh hingga membentur dinding dan Anita
yang masuk dengan terisak. Aku masih bergeming saat Anita kemudian membuka
lemari, meraih kimononya dan berlari keluar.
Sampai
sekian menit berlalu akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari kamar. Diluar
gelap. Lampu di ruang keluarga mati total. Aku tak bisa melihat apa-apa juga siapapun.
Ini sudah menjadi kebiasaan Zai, anak tertua paman Fuad saat ia ada di rumah
untuk memadamkan semua sumber penerangan hingga aku pernah menyangkanya seorang
yang sangat terobsesi dengan suasana magis. Satu-satunya sumber cahaya saat ini
adalah lampu yang bersinar kuning redup dari arah dapur.
Aku
meraba dinding dan menekan saklar. Tampak olehku Zai yang tengah berselonjor di
sofa dengan mata memerah. Warna mata yang menyerupai mata ikan busuk itu selalu
membentuk asumsi di benakku bahwa pemiliknya tengah mabuk ataupun baru mengonsumsi
sesuatu yang membuatnya serasa terbang ke nirwana. Tak kulihat paman Fuad.
Mungkin sudah pergi atau masuk ke kamarnya. Terdengar suara shower dari arah kamar mandi yang letaknya
persis di sebelah dapur. Itu pasti Anita.
Apa
yang harus kulakukan sekarang? Berada di luar ataupun kembali masuk ke kamar,
keduanya adalah pilihan yang sama-sama tidak menyenangkan. Tak terbayang olehku
bagaimana harus berpura-pura tidur dengan seorang gadis belia yang tengah
tersedu-sedu di ranjangnya seraya menyumpah serapah papanya atau justru
menyetel volume CD playernya
keras-keras seperti yang selama ini sering ia lakukan saat usai dimarahi
habis-habisan.
Sementara
makhluk bermata merah itu – Zai - belum
juga beranjak dari sofa. Ia bahkan meraih remote
dan menghidupkan televisi. Dalam kebingungan hendak kemana aku menyeret langkah
menuju dapur. Mengambil sebotol air dingin dari dalam kulkas, menuangnya ke
dalam gelas lalu meneguknya sampai tandas.
“Mana
dia?” Aku menoleh. Bibi Salma melongokkan kepala dari balik sekat dapur sebelum
menampakkan diri seutuhnya didepanku. Ia mengenakan daster dan mengikat rambut
ikalnya tinggi-tinggi. Pertanda bahwa ia tengah berada di kamar, mungkin juga
tengah bersiap-siap untuk tidur sebelum peristiwa lemparan ‘UFO’ berupa
piringan kaca yang melayang lalu pecah berkeping-keping saat menghantam dinding
itu terjadi.
“Siapa,
bi? Anita?” tanyaku, nyaris berbisik. Bibi Salma mengangguk. Aku menunjuk ke arah
kamar mandi. Bibi Salma mendengus. “Biarkan. Anak itu memang bebal. Sudah
berkali-kali dimarahi, tetap juga tidak mempan.” Ucap bibi Salma lalu meraih
botol yang sama dan menuang isinya yang tinggal separuh ke dalam gelas.
Aku
perlahan menarik kursi. Lampu di ruang keluarga telah kembali padam. Pasti Zai
yang sudah mematikannya. Bunyi pintu kamar mandi yang digeser diikuti dengan
Anita yang melangkah keluar tanpa menoleh padaku dan bibi Salma, membuat suasana
redup ini sesaat terasa membeku di udara.
Brak!
Kebekuan terpecah oleh bunyi pintu yang dibanting sangat keras. Diikuti oleh
teriakan Zai yang memaki Anita.
“Kupikir
sebentar lagi aku akan gila! Karena hampir semua penghuni rumah ini memang
sudah begini,” ujar bibi Salma, sinis dan lantang seraya menyilangkan
telunjuknya pada kening.
“Lihatlah!
Yang satu hobinya mematikan lampu saja. Tak peduli kita tengah ada di rumah,
tengah mengobrol atau menonton televisi. Yang seorang lagi menganggap rumah seperti
hotel, datang hanya untuk mandi, makan dan tidur (ini omelan bibi Salma tentang
putra kedua, Zein, yang memang paling jarang terlihat batang hidungnya), dan si
perempuan pula, masih ingusan tapi tabiatnya sudah seperti betina jalang!”
Kalimat
terakhir bibi Salma yang terucap dalam nada ketus itu membuat tarikan nafasku berhenti
sesaat. Lidahku pun ikut menjadi kelu sehingga tak bisa berkata apa-apa selain
hanya diam. Perlu kujelaskan disini kenapa bibi Salma sampai bicara sekasar
itu. Karena ketiga anak manusia yang baru saja ia ceritakan dengan raut
setengah frustasi itu, tak lain adalah anak-anak paman Fuad dari hasil pernikahannya
yang terdahulu. Sejak pertama kali datang ke apartemen ini, seingatku mereka bertiga
memang jarang sekali bersikap sopan, apalagi menghargai bibi Salma. (Oh ya, bibi
Salma juga telah memiliki seorang anak sebelum menikah dengan paman Fuad,
namanya Aida. Tentang Aida, akan kuceritakan kemudian).
“Dan
kau lihat? Papa mereka sendiri tak kurang bebal! Bukankah hampir setiap malam
anak gadisnya itu pulangnya malam terus, tapi yang bisa ia lakukan hanya memarahi
dengan membabi buta! Lalu keesokan malamnya hal yang sama terulang lagi,
dimarahi lagi. Hah! Sampai kapan mau begitu terus?”
Bibi
Salma bangkit dari duduknya, membilas gelas minumnya di wastafel lalu
meletakkannya kembali ke rak piring. “Kuharap kau jangan terlalu peduli. Dari
dulu juga sudah begini. Beberapa kali aku mencoba menegur, aku malah diadukan
anak-anak nakal itu pada ibunya. Mereka bilang aku ibu tiri yang jahat. Tapi
yang kuherankan, tak satupun dari mereka mau tinggal bersama ibunya.
Jangan-jangan, ayah tirinya jauh lebih galak dan menyeramkan daripada aku,
hehe.”
Bibi
Salma tertawa. Tak tampak lagi rona kemarahan di wajahnya. Memang, jika sudah
mengobrol ataupun menumpahkan isi hatinya didepanku, bibi Salma biasanya akan
kembali tenang, dan ia tampak merasa lebih senang bila aku ada di rumah.
Mungkin, karena selama ini bibi Salma justru mengalami kesulitan pada saat
mencoba bicara ‘baik-baik’ dengan para trouble
maker itu, bahkan bibi Salma juga jarang ngobrol dengan Aida.
Tentang
Aida – ah - menyesal sekali aku harus berkata jujur, bahwa putri tunggal bibi
Salma ini, tabiatnya pun sesungguhnya tak jauh beda, bahkan dalam beberapa hal
ia justru lebih parah dari Anita. Sepasang kakinya yang langsing dan selalu
bergemerincing oleh bunyi rantai itu baru akan menjejakkan bayangan tubuhnya di
muka pintu apartemen justru disaat semua penghuni rumah telah terlelap dan
kegelapan telah sepenuhnya menyelimuti hari.
Pernah
sekali, iseng-iseng kutanyakan pada bibi Salma mengapa Aida pulangnya larut
malam terus, bibi mengatakan bahwa selain bekerja Aida juga masih melanjutkan
kuliahnya di kelas karyawan yang jadwalnya khusus pada malam hari. Selain itu
juga, karena Aida paling malas bertemu paman Fuad. Ya. Aku sendiri menyadari
bahwa paman Fuad selalu memasang raut cemberut jika Aida ada di rumah bahkan
jarang sekali mau mengajaknya bicara.
“Masih
mau disini, Cha? Aku mau ke kamar dulu. Sudah ngantuk!” ujar bibi Salma seraya
mengisi satu mug besar dengan air dingin untuk ia bawa ke kamar. “Ya, bi.
Sebentar lagi aku juga mau masuk.” Jawabku.
Sepeninggal
bibi Salma, aku kembali menuju kamar, tapi cepat berbalik lagi ke dapur saat
dari balik pintu kamar kudengar suara musik dari CD player tengah diputar dengan volume yang sangat dahsyat. Entah seperti apa gerangan kekuatan suara itu
didalam kamar. Tidakkah Anita khawatir kalau gendang telinganya bisa saja
kehilangan sensitivitas dan mendadak tuli?
Dan…bagaimana
bisa kedua mataku terlelap di tengah keributan semacam itu? Satu hal lagi untuk
kau ketahui, bahwa Anita, tergolong SANGAT parah dalam menjaga etika dan
perasaan orang lain. Mungkin, itu disebabkan perceraian orang tuanya disaat
usianya masih butuh bimbingan dan perhatian, atau mungkin juga, karena
sebenarnya ia memang tak sudi sekamar denganku dan Aida, tapi, seharusnya ia masih
cukup waras bukan? Untuk setidaknya mengecilkan volume musik dan mematikan
televisi disaat aku akan tidur atau bahkan sedang sholat?
Lantas,
bagaimana sekarang? Ikut menonton televisi bersama makhluk bermata merah yang
hobi memadamkan lampu itu? Kurasa, ini alternatif yang lebih mengerikan. Siapa
bisa menjamin kalau mata merah Zai hanya disebabkan ia kurang tidur dan bukan
atas sebab yang lain?
Segera
kutepis dugaan buruk yang mencoba berputar-putar di benakku sebelum dugaan itu
membuatku bergidik. Bagaimana kalau mencari kesibukan saja di dapur? Kesibukan
yang kumaksud tentu saja bukan acara beres-beres, karena dapur apartemen ini
sudah sangat bersih dan rapi. Melainkan mencari kesibukan untuk menentramkan rongga
dalam perutku yang telah kembali berteriak minta diisi.
Aku
lalu mengambil buah apel dan pear dari dalam kulkas. Mengupas dan memotongnya seukuran
dadu serta menyiramnya dengan plain
yogurt. Lalu kuambil garpu, menusuknya satu demi satu, lantas mengunyahnya pelan-pelan
seraya merapatkan bibirku seakan-akan aku
tengah melakukannya didepan kamera untuk sebuah iklan produk pelangsingan tubuh.
Dari dulu sudah begini.
Berapa tahun sudah bibi Salma menjalani pernikahannya dengan paman Fuad, ya?
Aku tak pernah tahu. Mama juga tak pernah cerita. Hm. Pernikahan terkadang menjelma
begitu rumit. Dan betapa sabarnya bibi Salma menjalaninya selama ini.
Sedangkan
aku, jujur, belakangan ini staminaku rasanya terus menurun. Aku jadi gampang
pusing dan mengantuk. Semua pakaian yang kubawa sudah longgar semua. Oke. Aku
memang tetap makan tiga kali sehari. Bedanya, disini aku jarang sekali makan
nasi. Lengkap dengan lauk pauk dan sayuran yang dulu selalu tersaji secara rutin
di meja makan rumahku. Ritme hidup kota metropolitan yang bergerak cepat
akhirnya mempengaruhi alternatifku dalam memilih substitusi lain yang lebih
praktis.
Tapi
tetap saja tak menutup kemungkinan, bahwa masih ada faktor lain yang turut
mempengaruhi perubahan itu. Maksudku, jika hanya sekadar mensubstitusi apa yang
kita makan, itu tak seharusnya langsung menurunkan berat badanmu secara
drastis, bukan? (believe me, I’ve lost 7
kg in a year!).
Jangan-jangan,
suasana serba aneh di apartemen ini membuatku mengalami stress ringan tanpa aku
benar-benar menyadari. Biarpun ringan namun efeknya ternyata paling cepat
menyerang metabolisme tubuh dan kesehatan lambung.
Untuk
kau ketahui, semua kejadian aneh yang kusaksikan di apartemen ini, tak pernah
sekalipun terjadi didalam keluargaku. TIDAK SEKALIPUN. Bahkan terhadap Ady yang
luar biasa jail dan hobi mengisengiku itu pun, aku tak pernah sampai memakinya
dengan kasar, apalagi memukul, meski kemarahanku padanya sudah sampai di
ubun-ubun.
Papa
dan mama – seingatku - tidak pernah benar-benar
bertengkar dihadapan kami. Betapa pintar mereka menyembunyikan permasalahan
dan mengkondisikan suasana di rumah tetap senyaman biasa. Sesibuk apapun itu, mereka
pasti menyempatkan diri untuk menikmati makan malam bersama aku dan Ady.
Memanfaatkan waktu yang singkat namun penuh kehangatan itu untuk saling berbicara,
bertukar pikiran dan mencurahkan uneg-uneg atas segala persoalan yang kami alami
sepanjang hari itu.
Bisakah
kau bayangkan itu? Dan wajar rasanya bukan? Jika aku telah lama menimbang-nimbang
untuk pindah? Ya. Pindah. Secara diam-diam, tanpa sepengetahuan paman Fuad dan bibi
Salma, sejak seminggu ini aku sudah bergerilya mencari kost-kostan yang tidak
terlalu jauh dari kampusku.
Potongan
terakhir buah pear meloncat masuk ke mulutku persis disaat Zai masuk ke dapur
lalu menuang susu coklat ke dalam gelas bersama bongkahan es batu. Aku paling
benci kalau para trouble makers ini tengah
mengeluarkan es batu dari tempatnya. Karena bunyinya pasti ribut sekali. Seakan
ada sekarung batu-batu kerikil tengah dituangkan ke atas lantai. Padahal
pekerjaan sesederhana itu, sesungguhnya bisa mereka lakukan tanpa perlu mengeluarkan
suara berlebihan bukan? Ah. Dasarnya pemicu keributan. Menuangkan es batu saja
sudah memekakkan telinga dan membuat kesal setengah mati.
Segera
kutinggalkan dapur, setelah mencuci piring buahku di wastafel dan meletakkannya
kembali di rak. Syukurlah, lampu kamar Anita sudah redup. Tak ada lagi suara
musik yang terdengar sampai keluar. Aku mendorong pintunya dengan hati-hati dan
mendapati Anita yang sudah tidur tertelungkup bersama ponsel yang masih
tergenggam erat di tangannya.
Aku
lalu menarik extra bed dari kolong tempat
tidur. Dalam sekejap aku sudah bergelung dibalik selimut. Angka 18’C adalah
angka favorit Anita untuk suhu pendingin ruangan, lalu dengan ‘kejam’nya ia
akan menyimpan rapat remote pengontrolnya
dibawah bantal. Membuat tulang-tulang yang bersembunyi dibalik kulitku seakan
tertusuk dengan tajam, oleh dingin yang menelusup dari permukaan lantai juga
dari hawa yang berhembus dari kotak pendingin ruangan.
Rasanya
aku baru saja terlelap saat telingaku mendengar bunyi pintu yang didorong. Meski
kelopak mata terasa berat, kuturunkan juga selimutku untuk mengintip. Dan sepasang
kaki jenjang itu, yang berbunyi gemerincing setiap kali ia melangkah oleh rantai
emas mungil yang melingkari pergelangan kaki kanannya, tampak terburu saat
masuk ke kamar dan langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Itu Aida. Dan
itu berarti, bahwa saat ini sudah lewat tengah malam.
Tapi…Masya
Allah! Apa ini? Hidungku mendadak sempit. Ya. Indera penciumanku tak mungkin
salah. Ini bau minuman alkohol. Sangat tajam dan menusuk. Mengekspansi kamar
sempit ini dan nyaris tak menemui celah untuk lolos.
Aku
spontan bangkit dan duduk. Bau alkohol itu, jelas berasal dari tubuh Aida.
Lebih tepatnya, dari arah mulutnya yang menganga sementara posisi separuh
kakinya menjuntai hampir menyentuh lantai.
Sesuatu
terasa mendesak keluar dari rongga mulutku. Aku segera melempar selimutku dan membuka
pintu. Aku yakin ini bukan pertama kali Aida pulang dalam keadaan mabuk. Aku
sudah sering menemukan tubuhnya di pagi hari dengan masih belum menanggalkan
pakaian terakhirnya dan menggeletak begitu saja di sebelah Anita. Tapi baru
malam ini, aku masih terjaga disaat ia pulang.
Kulihat
lampu dapur menyala terang. Sayup terdengar bunyi orang sedang memasak. Siapa pula
gerangan yang sibuk-sibuk di dapur tengah malam begini? Ini kan bukan bulan
puasa?
Sekali
lagi, aku sangat kaget. Meski tidak sekaget sebelumnya ketika bibi Salma
menyebut Anita betina jalang. Di dapur, tampak Zai tengah mengiris-iris bawang
diatas talenan. Tapi Zai tidak sendirian. Ia ditemani Lilian. Kekasih barunya
yang kulihat rajin sekali bertandang kemari sejak akhir-akhir ini.
Aku
tak melihat Lilian sebelum meninggalkan dapur beberapa jam lalu. Lantas, jam
berapa dia datang? Atau, jangan-jangan Lilian sudah ada di kamar Zai ketika paman
Fuad memarahi Anita.
“Belum
tidur?” tanya Zai saat menyadari kehadiranku. “Belum. Mau ke toilet.” Jawabku,
seraya mengerling ke arah Lilian. Gadis berwajah oriental itu tersenyum padaku.
Aku tidak membalas, hanya mengangguk. Karena saat ini aku tengah sekuatnya
menahan rasa mual, ingin muntah dan sakit perut yang muncul bersamaan.
Membuatku sedikit tergesa saat menarik pegangan pintu kamar mandi, lalu….huekk!
Huh.
Aku mengusap peluh yang mulai mengembun di keningku. Kenapa ‘musibah’ ini harus
terjadi sekarang? Setelah bertahun-tahun lamanya lambungku tak pernah sekalipun
bertingkah aneh-aneh namun kini ia harus mengeluarkan semua isinya hingga tak
ada lagi yang tersisa selain hanya berupa cairan bening? Dan… kenapa harus
berlangsung ditengah canda tawa dua sejoli yang sedang memasak bersama hanya
dalam jarak beberapa meter saja dari kamar mandi ini?
“Hm, clever….”
“…….delicious.” “Ups, the smell
is good!” Dan masih ada sederet pujian spontan
meluncur riang dari bibir Lilian ditingkahi bunyi spatula yang memukul wajan berbaur
desis minyak goreng. Aku memijit-mijit tengkukku, juga mengelus-elus perutku
yang semakin dielus justru semakin melilit. Baru teringat kalau sepanjang malam
tadi, aku hanya mengisi perutku dengan selapis sandwich dan potongan buah keras
bersiram saus dingin. Ditambah dengan sengatan aroma alkohol yang mengekspansi
habis indera penciumanku juga saluran pencernaanku. Lengkap sudah semuanya. Aku
nyaris limbung saat keluar dari kamar mandi.
“Hey,
kamu sakit ya? Wajahmu pucat sekali.” tegur Lilian heran. Aku menggeleng lemah.
“Tidak. Hanya masuk angin. Sebentar juga sembuh.”
“Perlu
obat?” Kali ini giliran Zai yang bertanya.
“Tidak.”
Aku menggeleng lagi. “Tapi…boleh aku pinjam…pewangi ruangan?”
Zai
dan Lilian saling tatap. Wajah mereka saling memancarkan kebingungan.
Cepat-cepat kujelaskan, “Ada bau kurang sedap di kamar Anita. Tapi Anita, juga
Aida sudah tidur. Mudah-mudahan setelah disemprot, baunya bisa hilang.”
Zai
mengangguk-angguk. “Tunggu disini, biar kuambilkan.”
“Eh,
tidak usah, biar aku saja. Nanti omeletmu hangus. Dimana letaknya?” Lilian
cepat menyela. “Diatas lemari pakaian, disamping buku-buku tebal milik Zein.”
Sepeninggal
Lilian yang segera menuju kamar Zai, aku duduk di kursi dengan perasaan
canggung. Membayangkan seorang gadis masuk ke kamar pacarnya malam-malam buta
begini, bulu kudukku langsung berdiri, apalagi jika suatu hari nanti melihat
mereka tidur bersama seperti yang pernah dipergoki bibi Salma? Wajar saja kalau
bibi sering mengeluh.
Zai
telah selesai dengan omeletnya. Lalu meletakkannya diatas piring datar. “Kamu
mau?” tawarnya. Aku menggeleng. “Tidak. Terima kasih.”
“Itu
pasti si Salju yang sudah pipis sembarangan. Anita memang pemalas. Tidak pernah
lagi mengajari si Salju untuk membuang kotoran ke kamar mandi.” Ujar Zai,
berulang kali menyebut nama si Salju, kucing peliharaan mereka yang adalah
campuran antara kucing Angora dan kucing domestik.
“Itu
bukan bau kotoran kucing. Tapi bau….” Ups! Hampir saja aku keceplosan, menyebut
bahwa itu tak lain adalah bau minuman beralkohol. Untung, disaat bersamaan
Lilian muncul di pintu dapur dengan menggenggam sebotol pewangi ruangan dan
memberikannya padaku. “Terima kasih.” Ujarku, lalu cepat-cepat meninggalkan
dapur.
Sesampai
di kamar, aku segera menyemprotkan pewangi itu secara merata ke setiap sudut. Termasuk
menyemprotnya juga ke tubuh Aida. Peduli amat. Toh Aida dan Anita, masih sama
pulasnya.
Aku
lalu meletakkan pewangi ruangan itu didepan pintu kamar Zai. Meski aku tahu bahwa
pintu kamar Zai tidak terkunci, tapi aku tidak mau masuk ke dalam, seperti
Lilian. Sama sekali diluar kebiasaanku untuk nyelonong masuk ke kamar orang
lain tanpa minta ijin terlebih dulu.
Perlahan
kurebahkan tubuhku diatas kasur seraya menarik nafas dalam-dalam. Aroma alkohol
perlahan tersingkir oleh wangi lavender. Namun tidak demikian halnya dengan
pikiran kusut yang masih saja berputar-putar didalam benakku. Kedua mataku,
sialnya turut sepakat untuk enggan terlelap. Entah telah berapa menit
terperangkap dalam buntu dan kebimbangan, sampai akhirnya kudengar bunyi pintu
depan yang dibuka lalu ditutup dan dikunci. Itu pasti Zai dan Lilian. Sekali
lagi bertingkah anomali dengan bepergian di tengah malam buta.
Aku
menghela nafas. Berusaha memejam mata dan mengosongkan pikiran. Namun
kesadaranku tak segera sirna saat satu demi satu adegan itu kembali
berseliweran. Anita, berciuman, piring
pecah, Zai dan Lilian, Aida…..
Keputusanku
bulat sudah. Setahun, rasanya tak mungkin untuk bertahan lebih lama dari ini. Aku
harus segera pindah. ASAP.
Subscribe to:
Posts (Atom)