Tak jarang, saat membaca sebuah novel, elemen-elemen
pendukung yang semestinya bisa membuat performa novel tampil lebih baik justru
berefek sebaliknya, salah satunya dalam hal setting, atau latar cerita. Baik
itu terkait setting waktu, tempat mau pun situasi sosial-kultural. Ada beberapa
hal yang membuat deskripsi setting justru terasa mengganggu proses membaca,
antara lain, sbb :
- Setting cut ‘n’ glue
“It seems you just take an info
from some place and put it into your story”.
Ini salah satu kritik yang pernah
di-inbox temen saya untuk salah satu novel saya, (nggak sok-sokan pake english,
tapi emang inbox die pake bahasa english) dan saya sangat thanksful dengan
kritiknya, karena itu jadi pemicu saya untuk berbenah dalam hal penggalian
setting.
Cut ‘n’ glue mengacu pada
tindakan serupa kritik temen saya itu, kita menyalin dari satu sumber dan
meletakkannya di dalam tulisan kita tanpa banyak pertimbangan apalagi riset
yang menyeluruh terhadap setting tsb. Bagi pembaca yang nggak terlalu fokus
soal setting, hal ini mungkin nggak akan terlalu masalah, tapi di mata pembaca
yang jeli, hal ini bisa terlihat seperti tambal sulam yang nggak rapi dan
ngejahitnya asal-asalan.
- Setting yang “kasar”
Pernah nemu nggak, deskripsi
setting pada sebuah novel yang saat membacanya seolah-olah kita sedang membaca
non fiksi? Ini mungkin disebabkan saat nulisnya, si penulis nggak
mempertimbangkan harmonisasi antara tutur fiksi dengan info yang dia ambil
untuk dimasukkan ke dalam tulisannya, padahal, untuk bisa tampil smooth, apa
pun info setting yang diserap, harus bisa tampil nyaris tak kelihatan, dan
menyatu dengan baik dengan ceritanya.
Satu contoh novel untuk setting
yang menyatu dengan baik ini, menurut saya adalah Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye. Di situ
penulisnya – menurut saya – berhasil mengolaborasikan dengan sangat baik hal2 tentang
setting dengan cerita yang dia bangun, nggak hanya setting tempat tetapi juga
setting sosio-kulturnya, sehingga pembaca merasa seolah-olah benar2 berada di
tempat kejadian.
- Setting yang berjejal
Wah, sebagai pembaca, saya paling
sakit hati kalo baca novel yang settingnya berjejal. Mau tahu yang kaya’
gimana? Antara lain, novel yang dalam sebagian besar lembarnya selalu aja
terdapat kosakata bahasa or nama asing dari tempat yang dijadiin setting, baik
itu yang terdapat dalam narasi maupun dialog, walaupun udah disertai footnote,
tetap aja rasanya melelahkan saat harus pindah2 baca dari atas ke
bawah. Kalo boleh ngasih saran ama yang nulis, mbok ya selama kosakata itu
punya padanan katanya dalam bahasa kita, ya nggak perlulah ditulis dalam bahasa
aslinya, kecuali kalo nggak ada, ya silahkan aja.
Banyaknya jejalan kosakata asing dalam
novel, percaya deh, nggak bakal bikin kamu terlihat benar-benar tahu, justru
kelihatannya malah sok tahu (maaf) dan bikin pembaca yang nggak tahu jadi rada sebel.
Untuk pembaca yang tahu, karena emang tinggal di tempat yang dijadiin latar misalnya, justru penulis harus ekstra hati2, karena tak jarang, info2 yang
berseliweran di internet belum tentu sama dengan realitanya.
- Setting yang kurang imajinatif
Ini berlaku untuk novel fanfic. Kalau
untuk genre ini, memang dituntut kemampuan maksimal untuk bisa mendeskripsikan
setting yang sangat “ngayal” sehingga bisa membawa pembacanya ke dunia lain,
dunia yang nggak pernah mereka lihat dan alami. Semakin tinggi nghayalnya,
semakin berhasil memengaruhi pembaca, semakin baiklah nilai sebuah fanfic.
- Setting yang minim
Yang biasa maen di GRI, mungkin
pernah ngebaca salah satu kritik pembaca untuk novel Ilana Tan yang ngambil setting
London, “koq nggak kerasa suasana London-nya? dan karena tokohnya orang Korea,
malah lebih kerasa Korea-nya.”
Untuk bisa mendapatkan setting
yang benar-benar pas dengan kondisi real-nya tanpa penulisnya pernah pergi
kesana, memang bukan hal mudah. Penulis nggak hanya cukup dengan mencari dan
mengumpulkan riset, tetapi juga minimal pernah menyaksikan gambar atau film
yang mengambil setting di tempat tersebut, mengetahui gambaran umum kondisi
sosial kultur masyarakatnya agar dalam penggambarannya, walau nggak pas2 amat,
setidaknya masih nyambung dan enak untuk dinikmati.
Novel Ai karya Winna Efendi cukup mewakili
untuk setting Jepang yang bisa tampil maksimal dan natural, meskipun bagi
pembaca yang tahu, ada beberapa bagian yang kurang pas dengan situasi
sebenarnya, ini masih terselamatkan dengan kemampuan Winna Efendi menuturkan ceritanya yang
lembut romantis dengan dukungan deskripsi setting yang baik.
Lalu, riset setting yang baik itu
yang seperti apa?
Di bawah ini ada beberapa contoh
usaha yang dilakuin penulis saat meriset settingnya agar bisa maksimal :
1. E.S.
Ito membeli dokumen asli dari pemerintah Belanda seharga jutaan rupiah untuk mendukung
novelnya Rahasia Meedee. (sumber info : majalah Annida, lupa tahun berapa)
2. Sonia
Nazario Penulis The Enrique Journey melakukan perjalanan berbahaya melintasi perbatasan memasuki
AS bahkan sampai pernah nyaris dibunuh dan diperkosa untuk dapat melakukan
riset jurnalistik untuk novel tsb. Novel ini diganjar dengan penghargaan
Pulitzer.
3. Dee
pernah menyetrum dirinya sendiri untuk merasakan efek kejutan listrik saat
menulis novel Supernova untuk serial Petir.
4. Andrea Hirata
mengisi tabung bensin motornya hanya separoh sebelum masuk hutan, karena ingin
merasakan sensasi rasa takut berada di tengah hutan dengan bensin yang minim
saat membuat salah satu tetraloginya.
5. Shabrina WS sampe mengumpulkan dan mengamati puluhan pose
orang utan saat melakukan riset tindak-tanduk orang utan untuk novel duetnya Ping
: A Message From Borneo!
Agak gila-gilaan emang ya? Yah,
untuk bisa maksimal emang butuh pengorbanan, bagi yang ngerasa belum sanggup,
lakukan sesanggupnya sajalah, yang penting kuasai tehnik penulisan yang baik, sehingga
pengetahuan yang minim akan setting pun tak sampai mengurangi kenikmatan
pembaca saat membaca bukunya, dan iringi dengan niat yang baik saat menulis,
insya Allah hasilnya juga akan baik.
Kenapa harus pakai inisial sih, nama-nama penulis yang dicontohkan? :-)
ReplyDeleteIseng2 gak berhadiah :-)
ReplyDelete