“Tapi, aku
tetap tidak memahami satu hal, Zaman. Kenapa Sri Ningsih tidak langsung
mengirimkan langsung surat wasiatnya ke Belgrave Square? Itu jelas akan membuat
semua urusan lebih sederhana, bukan?” (hal. 516-517).
Zaman
Zulkarnaen, seorang junior associate di
firma hukum Thompson & Co di London, mendapat tugas menangani warisan salah
seorang klien mereka yang meninggal di Paris. Namun, tugas kali ini terbilang
pelik. Tak hanya karena sang klien meninggalkan warisan dengan nilai sangat
besar dalam bentuk kepemilikan saham, tetapi juga terkait misteri yang
menyelimuti kehidupan sang klien, mulai dari tempat tinggal terakhirnya di
sebuah panti jompo, surat mandat kepada Thompson & Co untuk menyelesaikan
urusan warisan yang “hanya” dititipkan melalui pos, ketiadaan surat wasiat, dan
kenyataan bahwa sang klien adalah seorang wanita Indonesia, negara asal Zaman
Zulkarnaen.
Penelusuran
Zaman dimulai di Kota Paris, tepatnya di panti jompo yang menjadi “rumah”
terakhir sang klien yang bernama Sri Ningsih itu. Di sini, Zaman mendapat
informasi tentang kehidupan Sri selama di panti dari gadis pengurus panti
bernama Aimee. Benda paling berharga yang berhasil diperoleh Zaman di tempat
ini adalah diary milik Sri Ningsih. Diary inilah yang kemudian “menuntun” Zaman
menelusuri fase demi fase kehidupan Sri Ningsih.
Penelusuran
Zaman berlanjut ke pulau Bungin, tempat kelahiran Sri Ningsih. Kisah tentang
Sri di pulau ini diperoleh Zaman dari seorang Pak Tua bernama Ode. Lelaki
inilah yang menjadi saudara angkat sekaligus saksi rekam jejak kehidupan Sri
selama di Bungin, hingga Sri meninggalkan Bungin menuju Surakarta.
Kisah
hidup Sri selama di Surakarta pula, diperoleh Zaman dari ibu Nuraini yang
dulunya adalah sahabat akrab Sri. Episode kedua ini, periode 1961 – 1966,
adalah bagian kehidupan paling pendek dari 70 tahun usia Sri, hanya lima tahun,
tapi menjadi bagian paling menyedihkan dan amat membekas hingga esok lusa dia
telah pergi mengelilingi dunia. (hal. 205). Sebelum berpisah, ibu Nuraini
memberikan sebuah kotak jati kepada Zaman, kotak yang memuat foto-foto, dokumen
dan semua surat-surat Sri kepada Nuraini.
Penelusuran
Zaman berlanjut ke kota Jakarta, destinasi Sri pada fase ketiga kehidupannya. Sebagian besar kisah Sri di kota
ini diperoleh Zaman melalui surat-surat yang dikirimkan Sri kepada Nuraini. Di
kota ini, dikisahkan lika-liku dan jatuh bangun Sri untuk bertahan hidup di
Jakarta. Sebagian kecil perjalanan hidup Sri di kota ini saat telah berhasil
memiliki pabrik sabun, diperoleh Zaman melalui Catherine, sang pimpinan pabrik
yang sejak kecil sangat dekat dengan Sri.
Sebuah kenyataan pelik ditemukan
Zaman, yaitu tentang Sri yang tiba-tiba meninggalkan pabrik yang telah ia
bangun dengan susah payah dan berada di puncak sukses, untuk alasan yang tak
diketahui siapapun. Di titik ini pula, Sri mengambil keputusan cerdas untuk
menjual pabrik dengan cara menukar kepemilikan saham, yang kelak terus
berkembang hingga mencapai nominal senilai satu miliar poundsterling dan
menjadi aset yang akan ia wariskan.
Fase
berikutnya adalah di kota London. Kisah tentang Sri di kota ini diperoleh Zaman
dari Lucy, seorang kepala administrasi pool
tempat Sri pernah bekerja sebagai supir bus. Kisah lain tentang Sri diperoleh
Zaman dari keluarga Rajendra Khan, tempat dimana Sri pernah tinggal. Rajendra
Khan ternyata bukanlah seorang yang asing untuk Zaman. Melainkan pemilik kios
tempat Zaman biasa membeli roti daging.
Kisah
Sri selama tinggal di London, tak ubahnya drama Bollywood yang menghadirkan
tawa dan duka. Di kota ini, Sri untuk pertama kalinya merasakan getar-getar
cinta dari seorang pria Turki bernama Hakan Karim yang berlanjut dengan
pernikahan. Namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Satu demi satu peristiwa
duka menimpa Sri dan meninggalkannya dalam kepedihan yang mendalam.
Masih
ada tiga tahun episode kehidupan Sri di London, sebelum dia kemudian secara
tiba-tiba memutuskan untuk menghabiskan masa tuanya di Paris.
Lantas,
setelah mengunjungi lima tempat berbeda di berbagai belahan dunia, berhasilkah
Zaman mengurai simpul misteri dibalik warisan Sri Ningsih? Mengapa Sri beberapa
kali melakukan tindakan tiba-tiba pergi dan meninggalkan kehidupan yang tengah
ia jalani? Berhasilkah Zaman menemukan surat wasiat Sri? Dan siapakah yang
kemudian menjadi pewaris atas semua harta peninggalan Sri?
Pertanyaan-pertanyaan
diatas, nyatanya belumlah sebanding dengan rangkaian peristiwa penting yang
dialami Sri sepanjang hidupnya, karena kisah ini memang bukan sekadar pemecahan
misteri harta warisan, melainkan sebuah kisah yang sarat akan makna-makna penting
tentang hidup, yang melebur dalam sosok Sri Ningsih sebagai hasil tempaan
kehidupan yang diarunginya.
Sepertinya,
perjalanan panjang Sri inilah yang direpresentasikan oleh gambar sepatu usang pada
sampul novelnya. Pilihan desain yang sederhana, minimalis, namun tetap terlihat
elegan, cool, dan eye-catching. Seakan sekaligus mencerminkan
sosok Sri yang juga adalah seorang perempuan sederhana, namun didalam dirinya terdapat
nilai-nilai inspirasi yang begitu berharga.
Saya sempat menemukan foto pemeran Oshin kecil dalam serial Jepang populer tempo dulu : Oshin, di page Tere Liye. Saya menduga, perjalanan hidup Oshin dalam serial ini turut punya andil dalam menginspirasi kisah kehidupan Sri Ningsih dalam novel ini.
Berbeda
dengan resensi-resensi saya untuk novel-novel Tere Liye sebelumnya, kali ini,
saya ingin terlebih dulu menguraikan makna demi makna hidup dalam novel ini sebelum
membahas teknik penulisannya. Karena bagi saya, makna-makna inilah yang menjadi
kekuatan utama novel ini, makna yang layak dijadikan teladan, diambil ibrahnya
untuk dijelmakan dalam kehidupan. Berikut
uraiannya :
Saya sempat menemukan foto pemeran Oshin kecil dalam serial Jepang populer tempo dulu : Oshin, di page Tere Liye. Saya menduga, perjalanan hidup Oshin dalam serial ini turut punya andil dalam menginspirasi kisah kehidupan Sri Ningsih dalam novel ini.
gambar pemeran Oshin kecil. |
Pertama,
makna kesabaran.
Makna
ini termuat didalam bagian (Sri menyebutnya Juz) pertama diary Sri, merepresentasikan awal kehidupan Sri sebagai gadis kecil
yang harus melewati tahun-tahun penderitaan saat ditinggal mati ayahnya dan
hidup bersama ibu tiri yang kejam. Lima tahun diperlakukan buruk oleh ibu
tirinya, siapa menduga, Sri justru membalasnya dengan rela mati demi
menyelamatkan Nusi Maratta dari kobaran api yang menyala.
Makna
inilah yang terangkum dalam sebaris kalimat nan menggugah pada surat pertama
Sri, berikut ini : Apakah sabar memiliki
batasan? Aku tahu jawabannya sekarang. Ketika kebencian, dendam kesumat sebesar
apapun akan luruh oleh rasa sabar. (hal. 48).
Pada
bagian kisah ini, Tere juga menuangkan kritiknya terhadap ketidakpedulian
lingkungan terhadap perilaku kekerasan pada anak yang terjadi didalam keluarga
sehingga anak menjadi korban.
Kedua,
makna persahabatan
Makna
ini mewakili kehidupan Sri remaja di sebuah madrasah di Surakarta. Sebagaimana
remaja puteri pada umumnya, persahabatan menjadi sesuatu yang tak ternilai buat
Sri. Apalagi, persahabatan yang terjalin selama bertahun-tahun. Bahkan ketika
salah seorang dari kedua sahabat akrabnya mengkhianati semua orang yang
menyayanginya termasuk sahabat baiknya, hanya Sri yang sudi memaafkannya. (hal.
151).
Pada
bagian ini, kita seakan diajak merenung saat dihadapkan dengan pilihan yang
sulit, sebagaimana diungkapkan Sri pada bagian kedua diary-nya : Apa arti persahabatan? Apa pula arti
pengkhianatan? Apakah sahabat baik akan mengkhianati sahabat sejatinya? Sri
harus memilih, sahabat sejati atau kebenaran. (hal. 141)
Ketiga,
makna keteguhan hati
Saat kita
sudah melakukan yang terbaik dan tetap gagal, apalagi yang harus kita lakukan?
Berapa kali kita harus mencoba hingga tahu bahwa kita telah tiba pada batas
akhirnya?
Aku tahu
sekarang, pertanyaan terpentingnya bukan berapa kali kita gagal, melainkan
berapa kali kita bangkit lagi, lagi dan lagi setelah gagal tersebut.
Jika kita
gagal 1000x, maka pastikan kita bangkit 1001x. (hal. 200 –
210).
Bagi
saya, inilah makna paling inspiratif dari kehidupan seorang Sri Ningsih. Masa
ketika Sri berusaha bertahan hidup di Jakarta hingga berhasil meraih kesuksesan.
Sri beberapa kali nyaris terpuruk oleh hantaman cobaan untuk kemudian berusaha
bangkit lagi. Didalam kisah perjuangan Sri ini, terdapat motivasi akan
pentingnya menjaga keteguhan hati, kesabaran dan kemauan untuk terus belajar sehingga
mampu membalikkan kegagalan menjadi keberhasilan.
Keempat,
makna cinta
Cinta memang
tidak perlu ditemukan. Cinta-lah yang akan menemukan kita. Karena dicintai
begitu dalam oleh orang lain akan memberikan kita kekuatan, sementara mencintai
orang lain dengan sungguh-sungguh akan memberikan kita keberanian (hal. 286).
Makna
cinta ini melebur dalam kisah asmara Sri Ningsih dan Hakan Karim di kota
London. Jangan bayangkan ini sebuah kisah cinta nan romantis ala drama Korea,
melainkan sebuah kisah cinta yang sederhana, malu-malu namun sarat akan makna
kesetiaan dan kesabaran.
Dan
kisah cinta ini membuat air mata saya nyaris tumpah. Siapa gerangan yang tak
akan terharu biru, membaca kisah cinta yang berawal bahagia namun berakhir
dengan duka yang mendalam?
Kelima,
makna berdamai dengan rasa sakit
Bagaimana
agar kita bisa berdamai dengan begitu banyak kejadian menyakitkan? Sri sekarang
tahu jawabannya. Lompatlah ke tengah hujan, biarkan seluruh tubuh kuyup.
Menarilah bersama setiap tetesnya, jangan pernah dilawan, karena sia-sia saja,
kita pasti basah. (hal. 457).
Inilah
makna terakhir yang terangkum dalam diary
Sri, sekaligus menjadi pamungkas kehidupan seorang Sri Ningsih. Melalui catatan
terakhir Sri ini, satu pelajaran penting akan kita peroleh, bahwa tidak ada
satupun obat yang bisa menyembuhkan luka hati selain keikhlasan.
Kapabilitas
Tere Liye sebagai penulis produktif, cerdas, mampu menyajikan kisah dengan
struktur kompleks namun tetap kokoh dan rapi sekaligus alur cerita yang
mengasyikkan, kian menunjukkan pesonanya melalui novel setebal 524 halaman ini.
Produktivitas yang tinggi tak lantas membuat karya Tere Liye mengalami
stagnansi dan monoton. Meskipun masih terdapat repetisi pola unsur intrinsik
dengan novel-novel sebelumnya, terdapat beberapa pembaruan pada novelnya kali
ini. Dan pembaruan ini, terbukti berhasil meningkatkan bobot novel ini menjadi
lebih baik dibandingkan novel-novel Tere sebelumnya.
Apa
sajakah pembaruan tersebut? Berikut uraiannya :
1. Pergeseran
titik sentral penokohan
Seperti sebagian besar novel-novel terdahulu, Tere masih setia
mengangkat tema tradisional-universal tentang tokoh utama yang menemukan makna
dari perjalanan panjang hidupnya. Namun kali ini, tak biasanya, tokoh sentral
yang menemukan makna hidup tersebut bukanlah sang tokoh utama pencerita,
melainkan tokoh utama yang kisahnya mengalir lewat penceritaan para tokoh-tokoh
tambahan, juga melalui diary dan surat-surat yang ditulis oleh tokoh tersebut.
Memang, pola seperti ini bukan yang pertama dilakukan penulis
novel populer selain Tere, namun apa yang menarik, eksistensi tokoh yang
diceritakan tersebut – dalam hal ini adalah Sri Ningsih - terasa hidup dan
memberi “ruh” yang kuat terhadap alur cerita.
Ini karena Tere tidak hanya menghadirkan Sri sebagai tokoh pasif
atau yang “sekadar” diceritakan, tetapi Tere memberi porsi yang cukup untuk Sri
memainkan peran utama pada latar waktu masa lalu dengan bantuan alur maju mundur
yang menjalin semua rangkaian kisah ini.
2. Latar yang
lebih variatif
Deskripsi latar yang detil dan meyakinkan, adalah salah satu
kelebihan novel-novel Tere. Dan pada novel kali ini, Tere tak
hanya menyajikan 1 – 2 latar tempat, tetapi sekaligus 5 (lima) latar berbeda baik
dalam maupun luar negeri : London, Paris, Pulau Bungin (Sumbawa), Surakarta dan
Jakarta.
Dan anda tak perlu meragukan kalau kelima latar ini hanya tampil
sebagai tempelan, karena Tere berhasil mendeskripsikan masing-masing latar
dengan sangat baik, termasuk latar waktu dan peristiwa.
Memori kita seakan kembali tersentak oleh tragisnya peristiwa
pemberontakan PKI saat Zaman menyusuri kisah hidup Sri di Surakarta pada tahun
1960an. Saat Zaman menelusuri kisah hidup Sri di Jakarta, kita seakan diajak
memasuki lorong waktu untuk menengok situasi kota Jakarta di tahun 1970an. Wawasan
kita juga menjadi bertambah saat diajak menyusuri suasana kota London pada era
tahun 1980an.
Bagi anda – generasi yang berusia dewasa di tahun 90an – mungkin merasa
tak asing dengan kilasan peristiwa millenium
bug pada kisah penghujung episode kehidupan Sri di London. Peristiwa yang
sempat menghebohkan dunia ketika itu karena masalah penanggalan komputer yang
sudah telanjur disetting dua digit (hal. 415).
Apresiasi saya untuk Tere, yang saya yakin telah melakukan riset
serius demi menghadirkan latar tempat, waktu dan peristiwa yang begitu detail
untuk setiap fase kehidupan Sri, disajikan dengan gaya penceritaan nan memikat
serta menambah wawasan pembaca.
iklan sabun jadoel yang menurut Tere, menjadi salah satu bahan risetnya | . |
3. Sosok “Sang
Penasehat”
Bagi anda yang sudah membaca beberapa novel Tere, pasti cukup
akrab dengan sosok Pak Tua yang selalu hadir dalam novel-novelnya dan mendapat
peran sebagai penasehat. Nah, dalam novel kali ini, sosok Pak Tua tak lagi
hadir sebagai sang penasehat, melainkan menjadi salah satu informan kehidupan
Sri kecil di Pulau Bungin, Sumbawa.
Lantas, siapakah yang “didaulat” Tere sebagai sang penasehat dalam
novel ini? Tak lain adalah sang tokoh sentralnya sendiri, Sri Ningsih. Seperti
telah disebutkan pada poin 1, bahwa pergeseran titik sentral penokohan utama,
tak hanya membuat novel ini berhasil lepas dari stereotype penokohan utama novel
Tere Liye pada umumnya, tetapi juga memberi ruang leluasa kepada Sri untuk
bertindak sebagai tokoh utama sekaligus sang pemberi nasehat, baik nasehat
tersirat dari lika-liku perjalanan hidupnya, maupun nasehat tersurat yang
tertuang didalam diary dan
surat-suratnya.
1. Penokohan
yang kontributif dan menarik
Sosok tokoh
utama lainnya dalam novel ini, Zaman Zulkarnaen, juga tak kalah mencuri
perhatian. Meski sebagian besar kisah tentangnya terfokus pada penelusuran
kehidupan Sri, Tere tetap tak alpa menyertakan latar kehidupan pribadi Zaman,
karakternya yang simpatik dan sekilas kisah romansanya.
Dalam novel ini,
Tere kembali menghadirkan banyak tokoh tambahan dengan karakter dan latar berbeda-beda
namun semuanya memiliki kontribusi yang pas terhadap cerita, termasuk karakter
yang memberi nuansa segar. Contohnya saja sosok Sueb sang pengemudi ojek online dengan dialek Betawi yang kental ataupun
Rajendra Khan yang suka mengusili orang lain. Ini membuat pergerakan cerita
terasa dinamis, page turner, jauh
dari kesan membosankan.
Selain itu,
melalui tokoh-tokoh tambahan yang melintas dalam kehidupan Sri, tersimpan pesan
penting bahwa ketulusan menolong orang lain kelak akan mengantarkan kita pada
ganjaran kebaikan yang berkali lipat besarnya.
Unsur lain yang
tak kalah memukau adalah pengolahan plotnya yang ciamik. Tere kembali
menghadirkan kombinasi plot padat dan plot regresif yang disulam rapi dan
konsisten sepanjang kisah ini. Sekilas membincang teori, bahwa plot padat
adalah plot yang menyajikan peristiwa secara cepat dan fungsional, dimana
peristiwa yang terjalin tidak dapat dipenggal atau dihilangkan karena memiliki
sifat fungsional tinggi. Jika satu saja peristiwa dihilangkan, maka pembaca
tidak akan memahami keseluruhan konteks cerita.
Sedangkan
plot regresif adalah plot yang urutan kejadiannya tidak kronologis. Di sini, Tere
menggunakan alur maju mundur yang bergerak dalam ritme proporsional. Pengembangan
peristiwa – konflik – klimaks juga berlangsung nyaris sempurna. Bahkan saya
nyaris terkecoh. Saat Zaman telah menuntaskan penelusurannya atas kehidupan
Sri, saya pikir klimaks novel ini telah berakhir. Sisanya tinggal cooling down hingga the end.
Nyatanya, tuntasnya penelusuran ini justru berlanjut dengan
bab-bab klimaks yang mengungkap siapa sesungguhnya tokoh antagonis didalam
novel ini. Tokoh yang sempat hadir pada bab-bab awal, lalu eksistensinya seakan
hilang ditelan bumi, dan kembali muncul di bab-bab akhir. Adegan action pun menjadi bumbu pada bagian
terakhir ini. Seperti halnya tokoh Bujang dalam novel Pulang, tokoh Zaman dalam
novel ini pun digambarkan memiliki kemampuan bela diri yang mumpuni.
Untuk gaya
penceritaan Tere, sepertinya tak memerlukan uraian terlalu panjang. Diksi yang lugas
dan mudah dicerna namun tetap mempertahankan nilai estetis, gaya tutur yang
mengalir dan dialog-dialog yang luwes, adalah kekuatan Tere yang kian menunjukkan
kematangannya pada novel ini.
Lantas....dimanakah
letak kekurangannya? Jujur saja, kerikil-kerikil kecil yang ada sama sekali tak
mengganggu kenikmatan saya menuntaskannya. Namun demikian, saya tetap menyertakan
sedikit catatan akan “kerikil” tersebut, berikut ini :
Pertama, identifikasi Razak sang pilot terhadap Pulau Bungin melalui
deskripsi Sri dalam suratnya, terasa terlalu mudah. Apalagi, deskripsi Sri menggunakan
kalimat semi puitis dan Pulau Bungin sendiri tidak terlalu populer. Namun di
sisi lain, saya pikir, cara ini cukup efektif untuk menjaga ketertarikan pembaca,
ketimbang langsung menyajikan proses penelusuran kehidupan Sri yang rumit lagi
berbelit sejak awal.
Kedua, penjelasan atas Special
Purpose Vehicle (SPV) yang dipilih Sri saat melakukan transaksi kepemilikan
saham, masih terasa samar. Memang, kita akan menemukan gambaran tentang prospek
pengembangan saham melalui metode SPV, tetapi belum cukup menjelaskan tentang definisi
dan segala hal terkait SPV, kemungkinan resiko yang timbul, dan bagaimana
bentuk pengawasan atas perkembangan saham perusahaan yang berlangsung berpuluh tahun.
Pulau Bungin |
Barangkali,
Tere memang tidak ingin menjejali pembacanya dengan teori dan muatan ekonomi
yang bikin mumet, ataupun Tere justru memancing pembaca untuk mencari tahu
lebih banyak tentang teori ekonomi tersebut dari sumber-sumber yang valid.
Ketiga, proses penyelesaian klimaks agak sedikit mengalami percepatan,
seperti menyaksikan video film saat tombol forward-nya
ditekan. Dan semua kesimpulan atas rahasia sang tokoh antagonis, hanya
dibeberkan secara sepihak berdasarkan analisa Zaman. Meskipun semua analisa itu
benar adanya, akan terasa lebih meyakinkan jika dilengkapi peristiwa-peristiwa
pendukung yang dimunculkan secara bertahap atau sekilas-sekilas dengan tidak
mengurangi unsur suspense dan surprise-nya.
Tentang
Kamu. Dua kata ini memang hanya akan kita temukan pada bab 24. Sebagai judul
bab, juga judul lagu yang diciptakan seorang rekan Hakan Karim untuk
menggodanya. Tetapi, makna Tentang Kamu dalam kisah ini jauh lebih besar dari
sekadar judul bab dan lagu. Melainkan merujuk pada sesosok wanita yang luar
biasa, pada segala makna hidup yang ia peroleh dari perjalanan hidupnya, dan
makna yang dititipkan Tere Liye kepada sosok tersebut untuk menginspirasi
pembaca.
Inilah yang
menjadi jawaban atas pertanyaan diawal resensi ini. Karena jika Sri memilih
untuk menyelesaikan urusannya dengan sederhana, maka makna –makna kehidupan nan
menggugah itu hanya akan menjadi milik Sri Ningsih seorang.
Selamat menyerap
lima makna hidup yang akan menginspirasi hidupmu melalui kisah penelusuran
misteri warisan yang memikat ini. Semoga makna-makna tersebut akan membuat
hidupmu lebih berarti saat kau bersungguh-sungguh meresapinya dan
mengejawantahkannya di dalam kehidupan.
Judul : Tentang Kamu
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Tebal : 524 hal
Terbit : Cetakan I, Oktober 2016
Sumber gambar :
Page FB Tere Liye
Dokumentasi pribadi
Page FB Tere Liye
Dokumentasi pribadi
Seperti biasa, resensi Mbak Lyta keceee banget. Bikin yang lain melipir cantik :D
ReplyDeleteGood Luck, Mbak :-)
Oh iya.. Oshin.. Jadi ingat beliau ya. Baru ngeh nih :D
Makasih Yant udah mampir. Oshin ini serial fenomenal banget thn 80an ya
DeleteGood luck, mbak Erlita 😊
ReplyDeleteTerima kasih :)
DeleteSetiap membaca resensi Mbak Ria selalu takjub. Lengkap, menarik dan selalu keren. Good luck Mbak. ^_^
ReplyDeleteTerima kasih ya Ratna ...
DeleteKapan yaa aku bisa mengulas buku se-wow ini..?
ReplyDeleteMbak Lyta nih emang kagak ada matinye soal ngeresensi..
Kapan yaa aku bisa mengulas buku se-wow ini..?
ReplyDeleteMbak Lyta nih emang kagak ada matinye soal ngeresensi..
astaga mbak Lytaaa, lengkap banget ini... cool
ReplyDeletesemoga menang ya mba, eh buat lomba bukan sih? :) dan... tentang kamu, terimakasih sudah mengulasnya sedetail ini, smg bisa beli :)
ReplyDeleteini film waktu aku masih kecil dulu ...
ReplyDeleteWaah keren!!! Ulasannya sangat lengkap dan pokoknya keren deh
ReplyDelete