Secara
konsep, peradaban Islam tidak ada tandingannya. Masalahnya bahwa umat sudah
sedemikian dijauhkan dari ruh Al-Quran dan As-Sunnah. Umat Islam sibuk
menjadikan Al-Quran sebagai aksesoris saja. Aksesoris untuk hiasan rumah,
ditulis dalam kaligrafi dengan tinta emas, tapi yang punya rumah tidak tahu
maknanya, apalagi mengamalkannya. Al-Quran dijadikan bagian seremonial
pembukaan sebuah sekolah, tapi sekolah itu nantinya mengajarkan hal-hal yang
bertentangan dengan Al-Quran. Atau peresmian gedung pertemuan, tapi gedung itu
juga dijadikan tempat menggelar musik-musik maksiat. (hal. 94 – 95).
Saat pertama kali melihat betapa tebalnya novel ini, terus
terang, dalam hati saya bertanya-tanya : mampukah saya menyelesaikan novel ini dalam
waktu singkat? Sanggupkah saya menulis resensinya? Dan jika sanggup, berapa
halaman yang saya butuhkan untuk mengulas buku setebal ini?
Sejauh ini, novel dengan bobot terbesar pernah saya baca, tebalnya
kira-kira 400an halaman, sementara novel Ayat-ayat Cinta 2, tebalnya nyaris 700
halaman!
Tetapi, saat mengingat pengalaman saya membaca novel Ayat-ayat
Cinta 1 yang tuntas dalam semalam, beberapa tahun lalu, saya pun tak ragu
membuka segel novel ini untuk membacanya. Dan, efek serupa ternyata kembali saya
alami. Seperti ada magnet yang menarik-narik saya untuk terus membalik lembar
demi lembar. Di luar dugaan saya, 15 hari yang saya targetkan untuk menyelesaikan
novel ini, dapat saya tuntaskan dalam waktu seminggu!
Sebelum ini, saya telah membaca 5 (lima) novel karya Kang
Abik : Ayat-ayat Cinta, Pudarnya Pesona Cleopatra, Ketika Cinta Bertasbih 1
& 2, serta Bumi Cinta. Dan saya tak ragu mengatakan, bahwa Kang Abik adalah
penulis tanah air dengan kualitas karya dan muatan dakwah islamiyah yang sulit
ditandingi. Jujur saja, hal ini sempat membuat saya merasa “minder” dan kurang
percaya diri untuk mengulas karya terbarunya ini. Karya yang menurut saya :
luar biasa!
Ya. Inilah kesan spontan yang saya rasakan, dan mendorong
saya untuk menulisnya di status facebook.
Rata-rata teman facebook saya berkomentar,
bahwa mereka sangat penasaran dengan isi novel ini begitupun ulasannya. Jadi,
saya putuskan untuk menghalau rasa minder saya untuk mengulasnya. Apalagi,
novel ini tidak hanya sekadar menyajikan cerita, tetapi terdapat begitu banyak ilmu,
inspirasi dan hal-hal penting yang sangat kita butuhkan di tengah-tengah lemahnya
ruhiyah Islam di kalangan masyarakat muslim saat ini juga badai islamophobia
yang tengah melanda penduduk dunia.
Bagi kalian yang sudah membaca novel Ayat-ayat Cinta 1
ataupun menonton filmnya, pasti sudah tak asing dengan tokoh sentralnya, yaitu Fahri.
Perjalanan hidup Fahri dalam novel ini berlanjut di kota tua Edinburgh. Di
ibukota negara Skotlandia ini, Fahri
menjalani hidupnya sebagai seorang dosen di The University of Edinburgh,
juga mengurusi bisnis minimarket dan resto Agnina serta AFO boutique. Bisnis yang awalnya dimodali
Aisha itu berkembang dengan sukses, kehidupan Fahri bergelimang harta kekayaan
dan dia termasuk dosen yang disegani di University of Edinburgh. Dalam
menjalani kesehariannya di Edinburgh, Fahri ditemani oleh Paman Hulusi.
Namun dibalik kemewahan hidupnya, Fahri justru kerap
merasakan kesepian dan kesedihan yang luar biasa sejak kepergian Aisha ke
Palestina dan belum diketahui kabarnya. Berbagai cara telah ditempuh Fahri
untuk mencari istri tercintanya itu, namun tetap saja jejak Aisha bak raib
ditelam bumi.
Satu demi satu peristiwa muncul dan menjadi batu ujian bagi
Fahri untuk tetap memperjuangkan nilai luhur Islam, di kota yang penduduk
muslimnya sangat minoritas itu. Beberapa kali Fahri menemukan kaca mobilnya
dicoret-coret dengan kalimat penghinaan terhadap Islam, beberapa kali ia disudutkan
oleh pernyataan, intimidasi dan tuduhan bahwa Islam adalah agama barbar dan
teroris, dan beberapa kali pula ia terlibat konflik dengan orang-orang yang
memusuhi Islam.
Namun semua ujian itu tak membuat semangat jihad Fahri menciut.
Dia tak ragu menegakkan keluhuran Islam sebagai agama yang rahmatal lil alamin melalui akhlaknya yang terpuji. Fahri menjaga
hubungan baik dengan tetangganya meskipun tetangganya adalah seorang Yahudi.
Fahri tak segan-segan mengeluarkan banyak uang demi menolong nenek Caterina saat
beliau mengalami kesulitan serta memperlakukan nenek Caterina seperti keluarga
sendiri. Padahal, nenek Caterina adalah seorang Yahudi taat dan anak angkatnya Baruch,
adalah seorang tentara Israel yang sangat memusuhi Islam dan menganggap orang muslim
sebagai amalek. Fahri juga ikhlas mengulurkan bantuannya pada tetangganya Keira
dan Jason untuk mencapai cita-cita mereka, meski Keira sangat membenci orang
Islam dan Jason juga pada awalnya menunjukkan sikap memusuhi Fahri.
Pertolongan dan keluhuran hati Fahri tak berhenti sampai di
situ. Ia menolong Misbah, rekannya dari Indonesia dan mengajak Misbah tinggal
bersamanya. Ia melakukan penggalangan amal untuk Palestina. Ia juga menyelamatkan
seorang tunawisma bernama Sabina yang bermuka buruk dan mengemis di jalanan,
serta menyediakan basement
apartemennya untuk ditinggali Sabina. Dalam beberapa kali kesempatan, Fahri
kerap teringat Aisha saat melihat tindak-tanduk Sabina.
Salah satu tonggak penting penegakan nilai Islam yang
dilakukan Fahri, adalah saat berdebat di University of Edinburgh “melawan”
tokoh Yahudi Rabi Bunyamin, Baruch dan juga tokoh Nasrani pendeta Thomas, serta
berada di panggung perdebatan yang lebih prestise lagi di Universitas Oxford
yang menghadirkan tokoh atheisme dan sekuler. Fahri sukses mematahkan argumen
para tokoh terkemuka tersebut berkat penguasaan ilmunya dalam agama Islam, kandungan
Al-Quran, sejarah Islam, juga berbagai bidang ilmu termasuk isi kitab Taurat
dan Injil.
Selain sarat muatan dakwah, novel ini juga menyuguhkan kisah
romantis saat Fahri melamar dan menikahi Hulya meski dalam hati dan ingatannya,
teramat sulit baginya untuk melupakan Aisha dan melepaskan wanita yang ia
cintai itu dari dalam hatinya. Dari pernikahannya dengan Hulya, mereka
dikaruniai seorang anak lelaki bernama Umar.
Namun, kebahagiaan Fahri dan Hulya tak berlangsung lama.
Sebuah peristiwa tragis merenggut kebahagiaan itu sekaligus membuka lembaran
yang baru lagi dalam perjalanan hidup Fahri.
Peristiwa tragis apakah itu? Bagaimana lika-liku hidup Fahri
di Edinburgh? Dan, bagaimana pula nasib Aisha? Akankah Fahri dapat bertemu
Aisha kembali?
Semua jawaban hanya akan kita temukan dalam novel terbaru Habiburrahman
El Shirazy atau yang akrab disapa Kang Abik ini.
Dalam novel setebal 698 halaman ini, kepiawaian Kang Abik mengolah
unsur intrinsik novel yang mencakup tema, alur, plot, karakter dan konflik, tak
perlu diragukan lagi. Dalam hal unsur ekstrinsiknya pula, yaitu sikap, prinsip,
dan keyakinan yang melatarbelakangi penulisan cerita, dapat kita rasakan, bahwa
kali ini Kang Abik benar-benar mengeksplorasi subjektivitasnya tersebut. Hal ini
tercermin dalam muatan dakwah Islam yang sangat kental, tajam dan “berani”,
serta paparan akan nilai-nilai luhur ajaran Islam yang begitu mendominasi isi
novel ini.
Terkait unsur-unsur intrinsik novel Ayat-ayat Cinta 2, berikut
adalah kelebihan-kelebihan yang tercakup di dalam novel ini :
Pertama, tema yang bergizi.
Seperti juga novel-novel sebelumnya, Kang Abik kembali mengusung
tema yang bersifat umum atau menurut Nurgiyantoro (2009 : 70), disebut sebagai tema
tradisional. Tema ini pada umumnya bersifat universal dan cenderung “hitam-putih”
seperti : kebaikan pasti menang melawan kejahatan, manusia harus menghadapi ujian
yang berat sebelum mencapai kesuksesan, penyesalan yang membawa pada
pertaubatan, dan sebagainya.
Kali ini, temanya adalah tentang perjuangan menegakkan
kesucian dan keindahan Islam di negeri minoritas muslim meski harus menghadapi
berbagai rintangan dan cobaan. Sisi menarik dihadirkan lewat liukan-liukan
konflik, rentetan peristiwa yang kompleks (akan kita bincangkan
pada bagian plot), dan muatan nilai-nilai Islam yang sangat kental, sehingga
tema yang meski terkesan umum dan klise, namun memiliki bobot konten yang
sangat bergizi.
Kedua, plot yang dinamis.
Ada 3 (tiga) hal yang menjadi bagian plot, yaitu jalinan peristiwa, konflik dan klimaks.
Untuk jalinan peristiwa, Kang Abik melakukan eksplorasi maksimal dalam
mengombinasikan 3 (tiga) jenis peristiwa yang tercakup di dalam plot novel,
yaitu peristiwa fungsional, kaitan dan
acuan. Peristiwa fungsional, atau peristiwa yang menentukan perkembangan
plot, dihadirkan pada setiap babnya sehingga
plot cerita terus bergerak dan tidak mengalami stagnasi. Contohnya saja,
peristiwa saat Fahri menemukan coretan di kaca mobilnya yang berisi penghinaan
terhadap Islam (bab 2), berlanjut dengan coretan-coretan berikutnya yang menggiring
Fahri untuk mencari tahu siapa pelakunya dan bermuara pada penentuan sikap
Fahri terhadap pelaku penghinaan tersebut (bab 11).
Peristiwa
kaitan, atau peristiwa-peristiwa yang mengaitkan
peristiwa-peristiwa penting, akan cukup banyak dijumpai di dalam novel ini. Contohnya saja pada bab 17, saat Brenda
tetangganya mengajak Fahri juga Paman Hulusi dan Misbah teman Fahri untuk pergi
ke Royal & Pup Cafe, di cafe itu Fahri mendengar obrolan Baruch sang
tentara Yahudi dan teman-temannya yang menghina Islam dengan kalimat-kalimat
kasar lagi merendahkan serta menyebut Islam sebagai amalek. Peristiwa itu
mendorong Fahri mendatangi mereka untuk mengajak berdiskusi dan meluruskan
pandangan mereka tentang amalek.
Peristiwa kaitan ini kemudian menjadi “jembatan” menuju peristiwa
penting berupa debat terbuka antara Fahri dengan tokoh-tokoh pemuka Yahudi
termasuk Baruch dan pendeta Nasrani di University of Edinburgh (bab 27).
Diantara rangkaian peristiwa fungsional dan kaitan tersebut,
Kang Abik juga tak alpa menyertakan beberapa kali peristiwa acuan, yaitu peristiwa yang menjelaskan suasana batin
tokoh utamanya, dalam hal ini adalah suasana hati Fahri yang digambarkan kerap
larut dalam kesedihan saat mengingat Aisha. Juga sosok Sabina yang kerap menangis
diam-diam.
Rangkaian ketiga jenis peristiwa tersebut yang disajikan
secara proporsional dan dinamis serta ditunjang oleh gaya penulisan yang mudah
dipahami, membuat jalinan kisah yang panjang ini pun terasa padat dan page turner.
Seiring dengan pergerakan peristiwa tersebut, konflik dan
klimaks juga dihadirkan dalam liukan-liukan yang apik. Kang Abik tahu persis
mengatur “irama” cerita sehingga pola : peristiwa-konflik-klimak berlangsung
secara teratur. Tak akan kita jumpai ruang “kosong” yang dapat membuka celah
bagi pembaca untuk melakukan skip
karena dilanda kebosanan.
Plot yang digunakan Kang Abik adalah plot progresif dengan
jalan cerita yang terus bergerak maju. Saya juga ingin mengulas tentang 4 (empat)
kaidah yang “wajib” dipenuhi oleh plot novel, yaitu : plausability (dapat dipercaya),
suspense (ketegangan yang membangkitkan rasa ingin tahu), surprise
(yang mengejutkan pembaca) dan unity (keterpaduan) dalam novel ini,
sebagai berikut :
Plausability.
Beberapa rangkaian peristiwa di dalam novel ini, memang
terkesan cukup dramatis. Contohnya saja saat Sabina menolong menyelamatkan
Fahri yang hampir dibunuh Baruch sehingga Sabina menderita luka tusukan benda
tajam (Bab 31), juga saat Hulya menjadi tameng untuk melindungi Keira dari
serangan pria mabuk (Bab 40), dan sebagainya.
Meski peristiwa-peristiwa dramatis tersebut bukanlah hal mustahil
untuk terjadi di realita, namun mengingat frekuensi kemunculannya yang cukup sering,
sedikit banyak dapat mereduksi unsur plausability
ini di dalam pemikiran pembaca.
Selain itu, adegan Sabina yang masuk ke Stadds Bar &
Cafe juga terasa sedikit mengherankan. Mengingat Sabina dalam novel ini digambarkan
sebagai seorang muslimah taat juga seorang tunawisma. Sementara cafe yang juga sekaligus
bar pada umumnya menyediakan minuman keras dan harganya mahal. Keheranan ini juga
sebenarnya dirasakan oleh sosok Fahri saat melintas di jalan tempat bar
tersebut berada (hal. 498), tetapi pada lembar-lembar berikutnya, saya tidak menemukan
jawaban atas keanehan tersebut. Sepertinya, fungsi adegan ini adalah untuk menggiring
pada peristiwa penyerangan oleh Baruch dan berujung dengan peristiwa
penyelamatan Fahri oleh Sabina (hal. 504-505).
Suspense
Novel ini bergerak dengan irama tenang dan teratur diiringi deskripsi
latar dan kalimat-kalimat dakwah yang cukup panjang, sehingga kesan suspense-nya pun cenderung datar.
Surprise
Seirama dengan kesan suspense-nya,
unsur surprise dalam novel ini juga
tidak terlalu mengejutkan. Clue tentang Sabina yang dibuka
pelan-pelan sejak awal membuat pembaca bisa memprediksi siapa sesungguhnya
Sabina. Juga terasa agak sedikit mengherankan, kenapa Fahri tidak dengan cepat
mengenal siapa Sabina padahal mereka cukup lama berinteraksi bahkan tinggal di
bawah atap yang sama. Meski demikian, Kang Abik tetap piawai menghadirkan twist pada beberapa bab terakhir,
sehingga rangkaian cerita yang semakin ke ujung agak terasa datar justru
kembali mengentakkan emosi pembaca dengan hadirnya peristiwa tragis yang
menimpa rumah tangga Fahri dan Hulya serta rentetan peristiwa yang terjadi sesudah
itu.
Unity.
Seperti telah diuraikan di atas, bahwa cerita ini memuat
rangkaian peristiwa yang padat dan proporsional. Jadi, meskipun banyak diwarnai
penuturan dakwah khas Kang Abik, novel tebal ini tetap menyajikan keterpaduan rangkaian
cerita secara utuh dan rapi. Selain itu, pilihan kata dan penuturan Kang Abik yang
relatif mudah dipahami, membuat isi novel ini mudah dicerna oleh pembaca.
Kedua, karakter tokoh utama yang “sempurna”
Sosok Fahri kembali menjadi tokoh utama-protagonis dalam
novel ini. Seperti juga novel pendahulunya (Ayat-ayat Cinta 1), karakter Gary Sue
kembali dilekatkan pada tokoh Fahri. Karakter sempurna, atau sebagian orang
menyebutnya karakter “malaikat”. Fahri digambarkan sebagai sosok pria tampan,
sholeh, cerdas, kaya raya bahkan cukup pintar memainkan biola. Dalam kesehariannya,
Fahri juga digambarkan sebagai seseorang yang ulet dan tak kenal lelah, baik
dalam aktivitas duniawinya sebagai dosen, pemilik minimarket, restoran dan
butik, juga dalam aktivitas religiusnya yang tak pernah melalaikan sholat malam,
rutin berzikir dan menamatkan 5 juz Al-Quran setiap hari.
Apa yang menarik, tokoh wanita utamanya pula - Sabina dan
Hulya – meski di satu sisi tetap digambarkan sebagai sosok-sosok yang mewakili karakter
bak bidadari syurga, namun di sisi lain, kepada mereka tetap dilekatkan kekurangan
dan ketidaksempurnaan. Contohnya saja Sabina, yang meski digambarkan sebagai
wanita sholehah dan taat, namun dia justru mengemis di jalanan. Padahal, Islam
tidak suka umatnya mengemis. Juga tentang Hulya yang cantik dan tak kalah
sholehah serta memiliki kemampuan menggesek biola kelas dunia, di sisi lain digambarkan
sebagai gadis yang cukup agresif saat mendekati Fahri.
Saya sempat membaca beberapa ulasan terhadap karakter Fahri di goodread, yang menganggap
karakter Gary Sue pada tokoh Fahri terasa kurang realistis, dan seyogyanya
karakter fiksi akan terasa lebih “hidup” saat kepada mereka juga diberi sisi manusiawi
yang mencakup kelebihan dan kekurangan.
Namun terhadap karakter Fahri, sepertinya kita perlu membuat
perbedaan sudut pandang, mengingat hal ini erat hubungannya dengan nilai,
prinsip dan keyakinan yang dipegang teguh oleh penulis (akan kita bincangkan
lebih lanjut dalam unsur ekstrinsik).
Novel ini juga menghadirkan banyak tokoh tambahan yang
memperkuat jalan cerita, seperti Paman Hulusi, Keira, Jason, nenek Caterina,
Brenda, Misbah, dan lain-lain. Sejalan dengan tema cerita, beberapa tokoh
tambahan ini mengalami perkembangan perwatakan yang dipengaruhi oleh alur
cerita, atau disebut juga sebagai tokoh
berkembang (Nurgiyantoro, 2009: 188). Pada umumnya, perkembangan
perwatakan mereka terjadi sebagai dampak dari proses interaksi dengan tokoh
Fahri yang sangat memegang teguh akhlakul
karimah, sehingga yang sebelumnya memiliki karakter jahat seperti Jason dan
Keira, secara perlahan-lahan berubah menjadi baik.
Ketiga, latar yang detail dan indah.
Kang Abik menggunakan latar tipikal dalam novel ini, yaitu
latar yang menjelaskan secara konkret akan unsur-unsur dari suatu latar, baik unsur
tempat, waktu maupun unsur sosialnya. Deskripsi latar tempat dalam novel ini
tersaji detail dan dilukiskan dengan diksi yang indah.
Kita seolah-olah dapat
membayangkan suasana kawasan Stoneyhill tempat tinggal Fahri yang identik dengan
kerapian, ketenangan dan kenyamanan (hal. 21), kota tua Edinburgh yang
bercirikan bangunan-bangunan kuno berarsitektur Georgia (hal. 2), kita juga
akan mengenal alat musik tiup khas bangsa Scots yang disebut bagpipes (hal.1), dan sebagainya. Sepertinya,
pengalaman Kang Abik keliling Britania Raya untuk safari dakwah sebagaimana
tercantum dalam profil penulis, sangat berkontribusi pada penggambaran latar
yang optimal dalam novel ini.
Keempat, misi Islam yang kental.
Seperti telah disebutkan di atas, novel ini sangat kental
dengan misi dan dakwah Islam baik yang mencakup ilmu fikih maupun muamalah. Ketebalan
buku yang di atas rata-rata juga memberi peluang pada Kang Abik untuk
mengeksplorasi muatan ini dengan sangat optimal.
Terkait misi novel ini, sepertinya, inilah saat yang tepat
untuk saya mulai mengulas tentang unsur ekstrinsik novel ini. Kita mulai dari
sosok penulisnya. Kang Abik adalah sosok yang merepresentasikan 3 (tiga) profil
sekaligus : sastrawan, pendakwah, dan juga cendekiawan. Latar belakang
pendidikan beliau sebagai lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo dan aktivitas beliau
sebagai penulis, dosen, aktivis organisasi Islam, pendakwah dan pembicara, memberi
kontribusi sangat besar terhadap karakteristik novel-novelnya terutama karakter
penokohannya. Boleh dibilang, sosok Fahri dalam novel Ayat-ayat Cinta 1 dan 2
ini, tak lain adalah cerminan prinsip, sikap, keyakinan dan pengalaman hidup
Kang Abik sendiri.
Dan prinsip-prinsip itulah, yang kemudian membuat novel
Ayat-ayat Cinta 2 ini dapat dikategorikan sebagai sastra profetik. Profetik
berasal dari kata “profet” yang berarti rasul. Sehingga sastra profetik sangat
identik dengan prinsip-prinsip kerasulan. Ini adalah genre sastra yang digagas
oleh almarhum Kuntowijoyo dan merupakan manifestasi dari Surat Ali Imran ayat
110 yang artinya: “kamu adalah
umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”.
Sastra profetik memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1)
sastra yang membumikan ajaran Allah dalam ranah kesusatraan, 2) sastra yang
mengusung konsep pelaksanaan ajaran Islam secara kaffah, 3) sastra yang
menjadikan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai rujukan utama, 4) sastra sebagai ibadah, dan 5) sastra yang
bertujuan membangun kesadaran umat manusia akan kewajibannya kepada Allah dan
kepada sesama manusia.
Semua ciri-ciri tersebut, akan kita jumpai pada novel
Ayat-ayat Cinta 2 ini. Oleh sebab itulah,
sedikit mengulang ulasan saya di atas, bahwa dalam beberapa unsur, kita harus
menggunakan sudut pandang berbeda untuk mengulas novel bergenre profetik seperti
novel ini.
Saat kita melihat tokoh utama novel ini yang berkarakter
“malaikat”, maka hal itu adalah dalam rangka memberi contoh tauladan akhlakul karimah yang berlandaskan ajaran
Al-Quran. Contohnya saja pertolongan Fahri kepada nenek Caterina yang notabene
seorang Yahudi. Hal ini sedikit banyak akan mengingatkan kita pada keluhuran
budi Rasulullah SAW, yang setiap hari menyuapi seorang nenek Yahudi buta di
sudut pasar meski nenek itu sangat membenci beliau.
Saat kita menemukan kalimat-kalimat dakwah dan ajaran Islam
bertabur di dalam novel ini, maka hal itu merupakan manifestasi konsep sastra
profetik yang berlandaskan amar ma’ruf
nahi munkar dan bertujuan untuk menggugah kesadaran manusia dalam berTuhan
dan beragama secara kaffah. Satu hal yang layak diacungi jempol, bahwa hampir dalam
setiap bab, kita akan menemukan nasehat-nasehat ulama besar yang sangat
menggugah. Saya kutip salah satunya, yaitu wasiat Habib Hasan Al bahr pada Bab
1 sebagai berikut :
“Menghadaplah
kepada Allah dengan hati luluh. Hindarkan dirimu dari sikap ujub dan angkuh. Pergaulilah
manusia yang jahat dengan baik, karena pada hakikatnya kamu sedang bermuamalah
dengan Allah Yang Maha Besar. Ulurkan tanganmu kepada orang-orang fakir dengan
sesuatu yang diakruniakan Allah kepadamu. Lalu bayangkanlah, bahwa Allah-lah
yang pertama kali menerima pemberianmu itu, sebagaimana dituturkan dalam
berbagai ayat Al-Quran dan hadits nabi. Kelak hatimu akan merasa sangat senang
dan bahagia dengan Allah.”
Saya masih ingat, Ayat-ayat Cinta 1 yang terbit pada tahun
2004, boleh dikatakan hadir pada saat yang tepat. Di saat fiksi-fiksi bergenre
sastra wangi yang mengekspos seksualitas secara vulgar, - atau sebagian
kalangan menyebutnya sastra lendir - membanjiri pasaran, kehadiran Ayat-ayat
Cinta yang bergenre profetik mampu menjadi oase dan inspirasi yang menyejukkan serta
mengangkat citra fiksi Islami pada masa itu. Tak kurang puluhan novel terbit
dan menjadi epigon atau pengekor Ayat-ayat Cinta 1, mulai dari sampulnya yang
menampilkan wanita bercadar, judul yang diakhiri kata cinta, nama penulis yang
kearab-araban, dilabeli dengan ‘novel inspiratif, novel penggugah jiwa’, dan
sebagainya.
11 tahun berlalu, pada peluncuran Ayat-ayat Cinta 2 sebagaimana
dilansir www.republika.co.id, Imam
Fahmi Zubir mengatakan, novel sekuelnya inipun hadir pada saat yang tepat.
Ayat-ayat Cinta 2 hadir di tengah islamophobia yang menjangkiti dunia Barat dan
pandangan miring mereka terhadap Islam.
Sebagaimana dituturkan Kang Abik, beliau menulis novel ini untuk
menunjukkan bahwa Islam itu indah, ramah, peduli orang lain dan juga mengasihi
sesama.
Dan Alhamdulillah, respon masyarakat terhadap novel ini juga
sangat luar biasa. Hanya empat hari pasca terbit, novel ini sudah terjual
10.000 eksemplar. Pada bulan Desember 2015, hanya sebulan pasca terbit, novel
ini sudah memasuki cetakan ke-10. Dan kabar terbaru yang tak kalah
menggembirakan, bahwa novel ini pun akan segera difilmkan!
Kehadiran novel ini juga sangat tepat di tengah fenomena pemahaman
dan pelaksanaan ajaran Islam oleh umat muslim negeri ini yang nyaris “sekarat”.
Setidaknya, ada 5 (lima) kandungan penting novel ini yang sangat kita butuhkan
untuk merevolusi semangat keislaman dan keyakinan kita dalam menegakkan keluhuran
dan keindahan ajaran Islam, sebagai berikut :
-
Menyajikan fenomena real akan keringnya ruhiyah islamiyah dalam kehidupan masyarakat
saat ini.
Sepertinya, Kang Abik juga cukup
gusar terhadap realita ini. Terbukti, beberapa lembar novel ini mengungkap realita
tersebut dengan sangat lugas dan tajam. Diantaranya, cuplikan paragraph yang
saya jadikan pembuka resensi ini tentang rendahnya pemahaman dan pengamalan
Al-Quran, capture status facebook saya di atas tentang nilai
keluhuran Islam yang tercoreng oleh perilaku penganutnya sendiri, perpecahan faksi-faksi di palestina dan dunia
Arab (hal. 142), negeri kita tercinta yang belum bisa menghargai para
cendekiawan (hal. 528), bahkan kalimat ini : Kalian menyatukan hari raya Idul
Fitri saja tidak bisa! Muncul tak kurang dari 5 kali (hal, 143-144), seakan-akan
menunjukkan kegusaran Kang Abik terhadap lemahnya semangat persatuan di
kalangan umat Islam saat ini.
- Menambah pengetahuan dan wawasan terhadap ajaran
Islam yang selama ini mungkin hanya kita ketahui kulit luarnya saja.
Contohnya saja tentang adab
mengucap dan menjawab salam serta adab bertetangga dengan nonmuslim, bagaimana menentukan
sikap kapan harus tegas menegakkan prinsip Islam dan kapan pula
harus mengedepankan toleransi, hukum transplantasi wajah dari orang yang sudah
meninggal, dan sebagainya.
- Memberi contoh tauladan akan akhlakul karimah yang seyogyanya dimiliki
setiap umat Islam.
Di sini, Kang Abik memberi
contoh detail tentang aktivitas religius yang dilakukan tokoh utamanya baik
dalam hal ibadah kepada Allah seperti doa dan zikir, mengkhatamkan dan
menghapal Al-Quran, sholat tahajud, dan sebagainya, juga dalam hal ibadah
muamalah dengan sesama manusia.
- Menginspirasi akan pentingnya menuntut ilmu pengetahuan
setinggi-tingginya, terutama ilmu tentang Islam itu sendiri. Dengan bermodal
ilmu dan pengetahuan yang luas, umat Islam tak akan goyah dan lemah saat
menghadapi perang pemikiran juga dalam menghadapi pengaruh negatif yang
dipropagandakan musuh-musuh Islam.
- Memotivasi umat Islam untuk berusaha memiliki hidup
berkecukupan agar rezeki yang diperoleh dapat digunakan secara optimal untuk menegakkan
syiar Islam.
Tepat kiranya dikatakan, bahwa novel Ayat-ayat Cinta 2 adalah
novel yang sangat kita butuhkan saat ini dan kehadirannya mampu membangkitkan
semangat menegakkan kemurnian Islam. Novel ini lebih dari sekadar rangkaian
cerita tentang perjalanan hidup, tetapi juga akan menggugah kesadaran kita
untuk kembali pada ajaran Islam yang kaffah, menyuntikkan motivasi untuk lebih mendalami dan mengamalkan ajaran Islam khususnya dalam hal akhlakul karimah, serta mendorong kita
untuk giat menuntut ilmu pengetahuan demi kebangkitan umat Islam yang cerdas,
berakhlak mulia dan menjadikan Allah swt sebagai satu-satunya sandaran dan
tujuan hidup. Insya Allah.
Sebagai penutup, saya sertakan harapan Kang Abik terhadap
para pembaca novel ini, sebagaimana diucapkannya di depan ribuan santri di
Bogor pada peluncuran perdana novel ini :
“Saya
berharap, setelah membaca novel ‘Ayat-Ayat Cinta’, para remaja Indonesia
menjadi orang-orang muda yang bercita-cita besar, punya mimpi besar, berakhlak
mulia, dan bertakwa kepada Allah. Tunjukkan kepada dunia bahwa Islam itu indah
dan damai, dan umat Islam itu hebat.”
Amin
ya Rabbal Alamin.
Judul : Ayat-ayat Cinta 2
Penulis : Habiburrahman El Shirazy
Penerbit : Republika
Jumlah : 698 hal
Tahun :
2015
Referensi :
Nurgiyantoro,
Burhan. 2009. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Amin untuk cita-citanya Kang Abik :)
ReplyDeleteterima kasih sharingnya mba :D
sama2 mbak :)
Deleteas usual....resensi yang bernas ^_^
ReplyDeleteBarokallahu fiik...
Amiin....trims ya mbak udah mampir :)
DeleteResensinya yahud banget, mba
ReplyDeleteaku mah belum sanggup yang seperti ini
semoga menang ya
Amiin... thanks mbak udah mampir :)
DeleteMba Elytaaaaa.... kamu keren abiissss... resensinya.. aahhh... aq blajar bnyak buat resensi dr mba.. suka maen ksini.. tp diem2.. hehehe . Sukses mba saayy
ReplyDeleteMakasih ya desi udah berkunjung :) jangan lupa baca novel keren ini yaa....
DeleteMasya Allah ... penasaran baca AAC2. AAC1 habis semalam dan berakhir dengan nangis karena pesan-pesan di dalamnya. akasih ya, Mbak, udah buat resensinya.
ReplyDeleteEh iya, salam kenal, Mbak.
Sama2..salam kenal juga
Deletemakasih nih reviewnya
ReplyDeleteSama2
Deleteluar biasa, membaca resensi ini terasa sekali kesungguhan mb lyta ketika melahap novel tebal ini. semoga berhasil, mba...
ReplyDeleteAmiin, trims wik. 3 hari wik nulis resensinya ini hehe
DeleteLengkap banget ulasannya.
ReplyDeleteDan:
"dalam beberapa unsur, kita harus menggunakan sudut pandang berbeda untuk mengulas novel bergenre profetik seperti novel ini."
Setuju. Selain itu baca novel begini seperti memberi gizi pada bacaan.
Semoga novel ini membawa banyaaaak kebaikan.
Amiiin, ini buku yg harus dimiliki semua pembaca muslim deh :)
DeleteWiiih, panjang. Semoga menang!
ReplyDeleteAmiin, makasih ya boss udah mampir :)
Deleteada lomba ya? smeoga menang ya mbk, aku nabung dulu mau beli novel ini :)
ReplyDeleteAmiiin...beli deh yuk novelnya. Bagus banget
DeleteWaaah... Lengkap ulasannya. Sy belum selesai baca nih, Mbak. Bikin tambah pintar abis baca ini ya. Sesuatu yang bergizi :D
ReplyDeleteAyo yan diselesaikan. Insya Allah tambah pinter habis baca novel ini hehe
Deletewah lengkap bgt, thank you
ReplyDeleteStreaming film HD
permisi, izin copy buat tugas sekolah ya..
ReplyDeletedan pastinya nanti saya edit lagi, terimakasih telah meringankan tugas saya...
sukses terus blog nya
sekalilagi terima kasih...