Kisah
ini bermula dengan kedatangan serombongan pemburu dari kota di bawah pimpinan
Tauke Muda, atau Tauke Besar ke desa (talang). Adalah Bujang, putra dari Samad
dan Midah, yang kemudian ikut rombongan pemburu itu beserta beberapa pemuda
talang, masuk hutan untuk memburu babi. Tauke Besar adalah saudara angkat
Samad. Dulunya, Samad bekerja sebagai begal untuk ayah Tauke Besar. Dan Samad
telah berjanji suatu hari nanti akan menyerahkan anaknya kepada Tauke Besar.
Dalam
perburuan itu, banyak anggota rombongan yang terluka parah bahkan tewas akibat
serangan babi hutan. Namun di luar dugaan, Bujang ternyata berhasil melumpuhkan
seekor babi hutan yang paling besar. Pengalaman pertama itu, menjadi titik awal
metamorfosis Bujang dari seorang remaja biasa menjadi seseorang yang tak kenal
rasa takut.
Tauke
Besar kemudian mengajak Bujang ikut bersamanya ke kota. Kepergian Bujang
diiringi tangisan mamaknya yang sesungguhnya tak rela melepaskan Bujang, anak
lelakinya satu-satunya. Kepada Bujang, mamaknya berpesan agar Bujang jangan
pernah menyentuh makanan dan minuman haram seumur hidupnya.
Setelah
Bujang sampai di kota, Tauke Besar kemudian menugaskan Frans, seorang guru
sekolah internasional di ibukota untuk mengajar Bujang. Selama di talang,
Bujang memang tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah.
Selama
tinggal bersama Tauke Besar, Bujang juga mendapatkan pelajaran menembak dari
Salonga, seorang pria asal Filipina sekaligus penembak terbaik di Asia. Selain itu,
Bujang juga pernah dikirim ke Jepang untuk belajar ilmu bela diri pada Guru
Bushi lalu melanjutkan pendidikannya hingga meraih master di Amerika.
Ada
potensi sangat besar dalam diri Bujang yang terdeteksi oleh Tauke Besar, hingga
tak ragu untuk memfasilitasi Bujang dengan semua bentuk latihan dan pendidikan
itu. Tauke Besar bahkan telah bercita-cita, bahwa suatu hari nanti Bujang-lah
yang akan menggantikan kedudukannya sebagai pimpinan Keluarga Tong. Demikian
sebutan untuk dinasti sang Tauke Besar sejak puluhan tahun silam.
Keluarga
Tong awalnya adalah salah satu penguasa di kota provinsi yang menguasai bongkar
muat pelabuhan dengan sumber penghasilan terbesar berasal dari penyelundupan.
Itu sebabnya, ada banyak begal yang dipekerjakan dalam Keluarga Tong.
Dalam
perkembangannya, Keluarga Tong telah bertransformasi secara luar biasa. Dari penguasa
shadow economy di tingkat provinsi
lalu merambah ke ibukota. Dengan organisasi bisnis yang terus menggurita,
membesar dan mencengkeram nyaris setiap sendi pergerakan ekonomi di ibukota
bahkan negara.
Dan
selama itu pula, Bujang terus bermetamorfosis hingga menjadi jagal nomor satu
dalam keluarga Tong. Namun Bujang bukan sekadar jagal biasa. Prestasinya jauh
melesat, melampaui dua generasinya terdahulu, yaitu kakek dan ayahnya yang
semuanya berprofesi sebagai begal. Bujang adalah seorang peraih master
universitas luar negeri, jago menembak dan menguasai ilmu bela diri, sekaligus
menjadi andalan Tauke Besar untuk melakukan diplomasi tingkat tinggi hingga
lintas negara. Bujang memiliki gelar Si Babi Hutan.
Konflik
bermula saat Bujang diminta Tauke Besar menemui Master Dragon di Hongkong, pada
perayaan ulang tahun pria itu yang ke-80. Master Dragon adalah pucuk tertinggi penguasa
shadow economy daratan Cina.
Kedatangan Bujang tak hanya untuk mewakili Tauke Besar memenuhi undangan Master
Dragon, tetapi juga untuk mendapatkan kembali teknologi pemindai yang
dikembangkan oleh Keluarga Tong di Makau namun telah dicuri oleh Keluarga Lin.
Bukan
hal mudah untuk Bujang mendapatkan kembali alat canggih itu. Ia harus menghadapi
perlawanan sengit dari para tukang pukul Keluarga Lin setelah berhasil
mendapatkan prototype pemindai itu. Dalam usahanya membawa keluar alat itu,
Bujang dibantu oleh White dan dua gadis kembar Yuki dan Kiko.
Sekembalinya dari Hongkong, masalah baru telah
menanti Bujang di ibukota. Ada hal-hal mencurigakan tengah terjadi dalam
organisasi Keluarga Tong. Kecurigaan yang mengindikasikan bahwa telah terjadi
pengkhianatan dalam tubuh organisasi raksasa itu.
Apa
yang sebenarnya tengah terjadi dalam Keluarga Tong? Siapakah sang pengkhianat?
Dapatkah Bujang mengatasi masalah besar ini? Dan bagaimana pula nasib dinasti
Keluarga Tong selanjutnya?
Semuanya
akan anda temukan dalam rangkaian kisah seru nan menegangkan dalam novel ini.
Kembali,
Tere Liye membuktikan kehandalannya sebagai pencerita ulung. Kepiawaiannya mengolah
plot berliku-liku yang diwarnai adegan-adegan menegangkan, menunjukkan kualitas
yang berkelas dari seorang Tere Liye. Pola seperti ini, juga pernah digunakan
Tere pada novelnya yang berjudul Negeri Para Bedebah dan Negeri Di Ujung
Tanduk.
Dan
dalam novel ini, pola tersebut telah menunjukkan eksplorasi yang kian ciamik. Sepanjang
cerita, kita akan disuguhkan dengan adegan-adegan filmis yang mengombinasikan
adegan baku hantam ala film-film laga Jackie Chan, keseruan yang menegangkan berlatar
kecanggihan teknologi ala film Mission Impossible dan serial James Bond, juga saat
Bujang berguru pada Guru Bushi di Jepang, mengingatkan kita pada film Last
Samurai yang dibintangi Tom Cruise.
Tentu,
bukan hal mudah untuk menggabungkan kekhasan dari film-film dengan genre dan
typikal berbeda ini lalu mendeskripsikannya di dalam sebuah novel. Namun, tak
diragukan lagi, di tangan Tere Liye, kombinasi itu tersaji dengan lincah dan
apik sepanjang cerita.
Selain
keunggulan tersebut, ada 5 (lima) poin menarik lainnya terkait unsur intrinsik novel
ini yang layak dikemukakan, sebagai berikut :
Pertama,
tema.
Dalam
novel ini, Tere menampilkan tema tradisional yang bersifat universal, yaitu tentang
seseorang yang menemukan makna dari perjalanan panjang hidupnya. Tema besar ini
didukung oleh sub tema seluk-beluk bisnis shadow
economy kelas kakap. Ada 2 (dua)
hal yang layak mendapat poin plus di sini : pertama, tema besar tersebut
berhasil menjalankan perannya sebagai “ruh” dan “napas” cerita. Meskipun cerita
bergulir dalam kurun waktu sangat panjang dan ada banyak hal dialami oleh
tokoh-tokohnya, namun tema tersebut tetap memegang kendali penuh atas cerita.
Kedua,
sub tema tentang bisnis shadow economy
berhasil digambarkan Tere dengan sangat detail. Baik yang tergambar dalam
adegan dan narasi maupun yang diselipkan dalam dialog.
Berikut
cuplikannya :
“Shadow economy adalah ekonomi yang berjalan
di ruang hitam, di bawah meja. Oleh karena itu, orang-orang juga menyebutnya black market, underground economy. Kita
tidak sedang bicara tentang perdagangan obat-obatan, narkoba, prostitusi, judi
dan sebagainya. Itu adalah masa lalu shadow
economy. Hari ini, kita bicara tentang pencucian uang, perdagangan senjata,
transportasi, properti, minyak bumi, valas, hingga penemuan medis yang tak
ternilai, yang semuanya dikendalikan oleh institusi ekonomi pasar gelap. (hal.
30).
Dengan
cara ini, pembaca akan memperoleh gambaran utuh dari pengertian shadow economy meskipun untuk mereka
yang baru pertama kali mendengarnya.
Kedua,
setting atau latar cerita.
Tere
menggunakan dua cara dalam menjelaskan latar cerita. Pertama yaitu latar
netral, di mana Tere tidak menyebutkan dan mendeskripsikan
secara khas tentang nama suatu tempat. Sebagai contoh, Tere hanya sekadar menyebut talang (desa),
tanpa memerinci nama desanya selain hanya menyebutkan bahwa talang itu terletak
di Sumatra, juga Tere sekadar menyebutkan kota provinsi, ibukota dan negara,
tanpa memerinci nama sebenarnya dari kota provinsi, ibukota dan negara dimaksud.
Kedua
yaitu latar konkret, di mana sifat khas dan nama tempat disebutkan dengan
jelas. Contohnya saat Tere menyebut jelas tentang Makau, Hongkong, Philipina,
Jepang, Bukit Barisan, Sumatra dan Amerika.
Terhadap
latar netral yang tak bernama, ada satu adegan menarik saat Tere menggambarkan Bujang
yang bertemu “kandidat presiden nomor dua yang berkemeja putih” setelah
sebelumnya menemui “kandidat nomor satu yang berlatar belakang militer dan
menguasai intelijen”. Dari gambaran ini, tentu, pembaca berhak mempersepsikan
di mana sesungguhnya latar utama dari cerita ini.
Adanya
perbedaan cara dari penyebutan latar ini, tentu, Tere memiliki alasan
tersendiri. Mengingat cerita yang melibatkan intrik politik dan kekuasaan,
tetap memerlukan kehati-hatian tingkat tinggi dalam penyebutan nama tempat dan tokoh-tokoh
yang terlibat.
Ketiga,
karakter.
Tere
kembali menunjukkan kualitasnya dalam mengolah karakter dan penokohan. Seperti
juga novel-novel Tere pada umumnya, Tere menggabungkan teknik ekspositori (teknik
penjelasan secara langsung oleh penulis) dan teknik dramatik (teknik penjelasan
secara tidak langsung, digambarkan melalui aktivitas, tindakan, percakapan,
pikiran sang tokoh cerita saat melalui setiap peristiwa). Kedua teknik ini
sangat membantu pembaca dalam memahami karakter tokoh-tokohnya.
Tere
termasuk penulis yang tak pelit menyertakan latar belakang dari masing-masing
tokoh, baik tokoh utama maupun tokoh pembantu, serta keterkaitan antara
tokoh-tokoh tersebut. Tak akan kita temukan tokoh pembantu yang fungsinya hanya
sebagai pelengkap, tetapi semuanya berperan dalam mendukung jalannya
keseluruhan cerita.
Dalam
novel ini, tokoh-tokoh pembantu yang ada tak ubahnya serangkaian puzzle, yang apabila dihilangkan salah
satunya maka tak akan menggenapi cerita. Tokoh Basyir, Kopong, Mansur dan Parwez
tak hanya dihadirkan sebagai orang-orang yang “sekadar” ada dalam lingkaran
Keluarga Tong. Tetapi semuanya memiliki peran penting dalam ekspansi besar
Keluarga Tong, dan masing-masing memiliki relevansi latar belakang yang kuat
dengan pucuk pimpinan Keluarga Tong. Hal inilah yang kemudian mempengaruhi
tindakan dan pilihan hidup mereka yang akan kita temukan dalam rangkaian cerita
ini.
Sosok-sosok
yang kemudian dihadirkan sebagai orang-orang kepercayaan Bujang, juga memiliki
keterkaitan erat dengan perjalanan hidup dan metamorfosis Bujang. Seperti si
gadis kembar Yuki dan Kiko, juga White si mantan marinir.
Bicara
soal tokoh, tentu tak cukup menarik jika belum memperbincangkan dua tokoh yang
selalu eksis dalam novel-novel Tere. Yaitu sang tokoh utamanya sendiri, dan
sosok pria tua sang penasehat. Tere selalu menghadirkan tokoh utama pria yang
bergelut dengan lika-liku hidup, lalu berhasil mengatasi persoalan hidupnya
serta memperoleh pembelajaran berharga dari proses itu. Di sini, Tere sepertinya
mencoba menghadirkan kebaruan lewat tokoh utama pria yang jauh lebih heroik dan
fantastis ketimbang tokoh utama pada novel-novelnya terdahulu.
Ya.
Sosok Bujang, adalah seorang pria yang luar biasa jago berkelahi, jago
menembak, jago berdiplomasi, menguasai ilmu samurai, peraih dua gelar master
dari universitas terkemuka di Amerika Serikat, sangat jenius dan memahami
kecanggihan teknologi. Seperti telah disinggung di awal resensi ini, tokoh Bujang
seolah merepresentasikan tiga sosok jagoan film sekaligus : Jackie Chan dalam
film-film laganya, sosok James Bond dalam serial 007 dan sosok Tom Cruise dalam
film Mission Impossible serta The Last Samurai.
Wahai.....dimanakah
gerangan akan kita jumpai pria sesempurna Bujang?
Dan,
barangkali atas sebab kesempurnaan ini pulalah, Tere tidak menghadirkan kisah
romansa antara tokoh utamanya ini dengan tokoh wanita seperti yang kerap terjadi
pada beberapa novel sebelumnya.
Sementara
untuk tokoh tua penasehat, kali ini dihadirkan Tere lewat sosok Tuanku Imam,
yang juga adalah paman Bujang dan yang pertama kalinya memanggil Bujang dengan
nama aslinya. Sosok ini, seperti juga pada novel-novel Tere lainnya, berperan untuk
menggugah kesadaran sang tokoh utama dalam memaknai hikmah dari perjalanan
hidupnya.
Saya
kutip salah satu nasehat Tuanku Imam untuk Bujang :
“Ketahuilah,
nak, hidup ini tidak pernah tentang mengalahkan siapapun. Hidup ini hanya
tentang kedamaian dihatimu. Saat kau
mampu berdamai, saat itulah kau telah memenangkan seluruh pertempuran.” (hal.
348)
Kempat,
plot.
Tere
menggunakan plot regresif dengan alur maju mundur yang konsisten sepanjang
cerita. Empat hal yang “wajib” ada dalam penguraian plot, yaitu plausability
(dapat dipercaya), suspense (ketegangan
yang membangkitkan rasa ingin tahu), surprise (yang mengejutkan pembaca) dan
unity (keterpaduan), berhasil ditampilkan Tere dengan cukup rapi. Memang,
terdapat beberapa kali faktor “x” yang terkesan menguntungkan Bujang sehingga
berpotensi mengurangi nilai plausability.
Namun ini dapat terselamatkan dengan pergerakan adegan yang cepat dan nyaris
tidak memberi ruang kosong untuk pembaca memikirkan opsi lain yang lebih baik
sebagai perangkai cerita.
Ritme
suspense juga terjaga secara
konsisten. Walaupun beberapa kali terjadi flashback
yang memutar alur cerita ke masa lampau, hal itu tidak sampai mengurangi
intensitas cerita atau menciptakan jeda terlalu panjang dengan suspense-suspense berikutnya.
Untuk
surprise yang dihadirkan, Tere cukup
berhasil menyajikan surprise yang tak
tertebak. Pembaca mungkin tak akan menyangka siapa sesungguhnya sang
pengkhianat, pun tak akan menduga kemunculan tokoh yang memegang kunci penting
dalam metamorfosis Bujang selanjutnya.
Dan
pada unsur unity, disinilah
sesungguhnya kelebihan utama dari karya-karya Tere. Semua unsur pendukung cerita mulai dari latar,
peristiwa, konflik, klimak dan para tokohnya saling terjalin erat dan memiliki
keterkaitan yang padu.
Kelima,
misi atau amanat.
Novel
Tere selalu hadir dengan misi atau amanat positif yang berbeda-beda dalam
setiap novelnya. Kali ini, Tere “menitipkan” amanatnya lewat filosofi “pulang”
yang juga menjadi judul dari novel ini. Saat baru membaca bab awal, saya menduga
bahwa “pulang” tersebut akan mengacu pada kepulangan Bujang kembali ke pangkuan
ayah dan mamaknya di talang. Namun, pulang dalam novel ini ternyata merujuk pada prinsip hidup dan juga kesetiaan. Termasuk
prinsip hidup tokohnya dalam mematuhi pesan mamaknya untuk tidak menyentuh
makanan dan minuman haram seumur hidupnya. Berikut quote dari novel yang menggambarkan makna filosofis tersebut :
“Bahwa
kesetiaan terbaik adalah pada prinsip-prinsip hidup, bukan pada yang lain (hal.
188).
“Hanya
kesetiaan pada prinsiplah yang akan memanggil kesetiaan terbaik.” (hal. 348)
Dengan segala keunggulannya, novel yang bersih
dari typo ini tetap memiliki sedikit kejanggalan dalam Point of View (PoV) atau sudut pandang pencerita. Novel ini secara
keseluruhan menggunakan sudut pandang orang pertama (aku). Yaitu PoV yang
identik dengan penceritaan sesuai batas penglihatan, pikiran, perasaan dan
pengalaman sang tokoh pencerita, yang dalam hal ini adalah Bujang. Namun pada beberapa
adegan, terdapat deskripsi peristiwa di mana sang tokoh utama tidak hadir di
dalamnya dan tidak langsung terlibat dalam kejadian tersebut.
Berikut
diantaranya :
Pada
hal 35-36, digambarkan dialog dan interaksi antara penasihat ekonomi dengan
sang calon presiden sementara tokoh Bujang telah meninggalkan tempat interaksi
itu terjadi.
Pada
hal. 83, diceritakan dialog antara Kopong dan Tauke Besar yang tengah menonton
perkelahian massal antara para begal, sementara Bujang sendiri digambarkan terlibat
dalam perkelahian tersebut.
Pada
hal. 373, terdapat deskripsi adegan di mana Togar bersama pasukannya melawan
para begal pembelot di lobi gedung, sementara Bujang sendiri telah berada di
lantai 25 gedung itu.
Namun
secara keseluruhan, kejanggalan ini tidak memberi efek berarti terhadap
keutuhan cerita.
Novel
setebal 400 halaman ini lebih dari “sekadar” eksplorasi rangkaian adegan seru nan
filmis serta keterampilan menyajikan cerita dengan keterpaduan unsur intrinsik
yang apik. Apa yang tak kalah penting, novel ini mampu merepresentasikan kekhawatiran
Tere akan bahaya laten dari “monster” kegelapan bernama shadow economy atau black
economy. Monster ini tak lagi bermain pada ranah ecek-ecek, melainkan telah
menguasai sektor-sektor vital perekonomian hingga yang menguasai hajat hidup
orang banyak, bahkan turut mempengaruhi kebijakan politik dan pemerintahan
suatu negara.
Lebih
bahayanya lagi, shadow economy
bergerak tak kasatmata, tak terepresentasikan dengan akurat lewat angka-angka, sehingga
tak terukur seberapa besar kekuatannya yang sesungguhnya. Jadi, jika
dihubungkan dengan realita, tak ada yang tahu persis, berapa kisaran persentase
shadow economy yang saat ini tengah menguasai
perekonomian negara kita bahkan dunia, dan seberapa kokoh pula akar pengaruhnya
telah tertancap dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sehingga
boleh jadi, seperti juga bayang-bayang tubuh kita sendiri, shadow economy saat ini telah membayangi kita begitu rapatnya
hingga tak satupun mampu melepaskan diri darinya. Bayang-bayang yang mungkin
baru akan lenyap saat semua kita telah kembali pulang. Pulang dalam maknanya
yang hakiki. Wallahu’alam.
“Sungguh,
sejauh apapun kehidupan menyesatkan, segelap apapun hitamnya jalan yang
kutempuh, Tuhan selalu memanggil kami untuk pulang.” (hal. 400).
Judul : Pulang
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Tebal : iv + 400 hal
Tahun
: 2015
ISBN : 978-602-082-212-9
Waaah... saya jadi naksir beli bukunya. Tema shadow economy ini menarik sekali. Sekilas ini jadi novel bergenre action ya mbak?
ReplyDeleteiya uni. ini boleh disebut bergenre action. banyak adegan serunya
DeleteWhuaaaa.. Reviewnya komplit, mbak. Kereeen. Good luck yaa :)
ReplyDeletemakasih intan udah berkunjung :D Amiin
DeleteBuku Tere Liye belum sempat kubaca. Koleksiku belum banyak ding. Tapi buku ini ulasannya lengkap banget. Semoga menang, mbk.
ReplyDeleteAmiiin.....makasih yaa
Deletebelum sempet baca..padahal hits ya..huhu masih beersin bukuya Pram
ReplyDeleteSaya belum pernah baca buku pram. Gak pernah nemu di sini
DeleteWah, reviewnya mendetail dan sesuai kaidah resensi.
ReplyDeleteKeren. Ini mah kudu belajar meresensi dengan baik dan benar ke Mbak
Saya juga lagi belajar sama referensi2 teoritis nih atria. Makasih ya
DeleteDetail sekali mbak. Menang pokok'e mah :D
ReplyDeleteSukses ya!
Amiin...thanks yaa
DeleteMantap... Detil abis... Sukses ya mba
ReplyDeleteThank you teh rena..
DeleteLangsung pening baca ulasannya, :D. Saya kira 'Pulang' bertema romantisme, ternyata..., ulasannya lengkap Mbak, dan saya banyak belajar dari tulisan ini. Novel2 Tere liye termasuk yg byk memenuhi rak buku sy karena kbykn novelnya sy suka, ok, noted, kkpn2 pengen beli dn baca sensasi dr pulang ini.
ReplyDeleteSelamat merasakan sensasinya kalo udah punya nanti hehe
Deleteshadow economy mungkin bisa dikatakan kehidupan mavia versi zaman sekarang ya mbak...oya, hanya bisa membayangkan sosok Bujang sebagai Jackie Chan, karena belum menikmati film dari 2 tokoh lainnya :D
ReplyDeleteIya. Mafia ekonomi tapi udah masuk ranah politik n power juga
Deletetadinya saya kira novel Pulang berkisah tema keluarga, ooo ternyata action yah. Tema novelnya cukup berat dan mengandung pengetahuan, novel berbobot nih. Yang mereseni juga menunjukkan bobot dirinya sebagai penulis handal. Dalam reensi ini pembaca juga diberi pengetahuan tentang gaya menulis, kekurangan maupun kelebihan dari sebuah novel. Wah ga ada romansa? hebat ya Tere Liye tanpa romansa tapi bia menyuguhkan cerita yang ciamik. Jadi mau ngoleksi nih. Semoga menang ya mba Elyta, sukses selalu ...
ReplyDeleteMakasih mbak vina. Ada kisah romansa pada orangtuanya bujang. Dan pd bagian itu cukup mengharu biru
DeleteCukup membuat saya mengerti ttg novel pulang karya tere liye.. terima kasih resensinya
ReplyDeleteSama2
DeleteCukup membuat saya mengerti ttg novel pulang karya tere liye.. terima kasih resensinya
ReplyDeleteSelalu suka resensi mbak Lyta, detail, lengkap, jelas. Jadi lebih bagus mana mbak sama Rindu? :D Good luck ya mbak :)
ReplyDeleteDua2nya bagus..dgn caranya masing2. Makasih yaa :)
DeleteWow, reviewnya paket komplit :) jadi penasaran pengin baca
ReplyDeleteAyo hunting bukunya wuri
DeleteMantap nih, resensi mba Ria selalu komplit..
ReplyDeleteThank you pak udah mampir
DeleteWaow rruarr biasa...jd tambah penasaran pingin baca bukunya. Walau cerita action aku tdk terlalu suka tp cara bercerita buku kali ini cukup membuat rasa ingin tahuku brtambah..mksh Mb...
ReplyDeleteSeru mbak ceritanya
Deletedalem banget resensinya mbak ...aku baru baca 1 buk Tere Liye ...Ayahku Bukan Pembohong
ReplyDeleteSaya yang itu belum baca
DeleteKeren. Berasa nonton film mafioso
ReplyDeleteIya ti filmis banget. Kpn kita berguru sama tere ya? :)
Deleteresensi yang komplit dan berimbang
ReplyDeleteThanks mbak udah berkunjung
DeleteWah, resensinya lengkap sekali. Keren Mbak Ria ^_^
ReplyDeleteThank you
DeleteMoga lolos ya mbak.
ReplyDeleteAmiin
DeleteKadang kita tertipu dengan judul, ya. Kirain semacam romance tragedi gitu. Tapi jadi penasaran, gimana serunya.
ReplyDeleteMenilik latar bekakang yg cukup berat #ciyeh, bisakah bacaan ini direkomendasikan ke pelajar SMP?
sma bolehlah ney, kalo untuk smp terlalu kompleks kayanya
DeleteLangsung kbayang novel Negeri Para Bedebah..
ReplyDeleteTere tuh emang dosen di Ekonomi ya?
Keren deh kalo membidik ekonomi.
Btw, resensi Mb Lyta kereen.. smoga menaang..
Aku baru mau beli novel ini nnti di bukfer thn dpn.. hahaa.. penggemar diskon.. :D
Iya kali ya mbak. Paham banget ttg ekonomi. Amiin. Makasih mbak
DeleteBasik keilmuan Tere Liye apa ya? Ekonomikah?
ReplyDeletebantu jawab, iya Mba Yeni..
DeleteSebagai penulis novel, Mba Ria sangat paham tentang unsur-unsur membuat novel, makanya resensinya kereeen bangeet..
ReplyDeletemasih belajar ini kok ridho, makasih ya udah berkunjung :)
DeleteAdegan-adegan dalam novel ini mengingatkan saya pada adegan-adegan dalam film MERANTAU yang diperankan Iko Uwais. Keren karena mengangkat dunia mafia, yang mungkin saja terjadi di negeri ini. Keren sekali jika novel ini difilmkan.
ReplyDeleteiya, semoga ada produser tertarik untuk memfilmkan novel seru ini :)
Deleteharganya kira kira berapa ya mbak?
ReplyDelete65rb
Deletekeren mba reviewnya.. saya jadi pengen memiliki novel ini. :)
ReplyDeleteiya, recommended novelnya
Deleteternyata, teori2 menulis itu sangat penting diingat nama2nya krn akan sangat berguna ketika kita membuat satu resensi ya... jd bikin resensinya berbobot. menang mba menang :)
ReplyDeletebaru belajar mah ini wi nama2 teoritis ini hehe....Amiiin
Deletesepakat dengan semua komentar di atas...lengkap, kereen...pokoknya plus...plus...dua jempol untuk mba Lyta. Semoga lolos ya...
ReplyDeleteAmiiin....makasih mbak Anita :D
Deletega ada romansanya? ow, saya suka!
ReplyDeleteiya yang picisan2 gitu gak ada
DeleteWuiiih, ulasannya lengkap banget.
ReplyDeleteCeritanya tidak sekadar pulang ya.
Tapi pulang dengan makna yang dalam.
Penasaran, dan kayaknya bakal masuk daftar belanja nih 😊
iya eni, Tere pinter aja bikin cerita yang ada maknanya
DeletePenasaran deh, novel ini nantinya bakal dilirik oleh rumah produksi ga ya? Si Bujang jadi sosok yang menarik deh nih.
ReplyDeleteJangan minder lagi ya, Mbak. Review Mbak Ria bagus kok. Meski banyak pesaingnya, tetap semangat! Hehehe
halo Aya, makasih ya udah berkunjung. Kalo dilirik produser, harus nyiapin visual effect yg mahal nih utk adaptasi novel ini hehe
DeleteWahh siap-siap menang ya mbaak.. lengkap sekali nih.. para calon pembeli bisa langsung paham begitu membaca resensi mbak Lyta.. ulasan ala mentor dehhh.. good luck!!
ReplyDeleteAmiin...thanks mbak tridi, senang bisa mengulas novel dr penulis favorit mbak :D
DeleteSuami sy baru baca Pulang. Katanya kereen.. Lebih keren dari novel terkenal luar negeri yang baru ia baca :D
ReplyDeleteResensinya kereen, komplit dan detail, Mbak Lyta. Kemudian sy mengambil kesimpulan mempelajari teknik2 menulis tidak hanya dibutuhkan oleh seorang penulis tapi juga resensor :D
Good Luck, Mbak Lyta :-)
Iya Yant, untuk ukuran novel dalam negeri, ini keren kok :D
DeleteUlasannya lengkap banget Mbak, saya suka (y)
ReplyDeleteBaru satu novel Tere Liye yang saya baca yaitu Bidadari-Bidadari Syurga..
Jadi penasaran pengen baca novel "Pulang" ini :)
Good luck Mbak, Semoga menang, amin..
Amiin....makasih ya mbak :)
DeleteKayaknya dalem banget maknanya ya, Mbak, novel ini. Jadi pengin baca. Resensinya mempengaruhi saya banget :) kerennnn!!
ReplyDeleteiya mbak, ciri novel Tere salah satunya memang pada maknanya itu, dalem dan positif
Deleteresensinya apik, mengulik berbagai aspek buku. Ini nih yang bikin pembaca penasaran dan pengen beli si buku. Good job Mbak Ria
ReplyDeleteSudah baca novel pulang dan memang benar seru ceritanya.
ReplyDeleteKalau dibuat film, pasti keren :)