Areta perlahan membuka pintu. Ada pendar
cahaya dari pintu belakang yang terbuka, ke arah dapur yang terletak di luar
dinding rumah utama. Semakin dekat menuju dapur, semakin terlihat jelas bahwa
cahaya itu berasal dari kebun belakang. Rasa penasaran yang terus bertambah tak
hanya membuat Areta terus melangkah maju, menuju sumber cahaya, tetapi juga
rasa hausnya mendadak lenyap.
Areta merunduk diantara pagar bambu. Sesuatu
tengah berlangsung di dalam kebun. Sesuatu yang tidak bisa dinalar oleh
logikanya juga oleh kedua matanya yang masih terasa berat. Dari arah dua gading
purba yang mencuat di tengah kebun itu, tampak berpendar cahaya sangat terang. Saking
terangnya, hinga ia pun menyipit silau. Sepertinya, dari sanalah sumber cahaya
yang mencapai pintu kamarnya, berasal. Cahaya itu berputar-putar tepat di
tengahnya, dikelilingi oleh materi-materi halus yang berkilau, seperti pecahan
kristal. Sementara beberapa orang berdiri tegak mengelilingi dan menatap sumber
cahaya itu. Tanpa bicara, tapi matanya penuh harap mengarah ke pusat cahaya
itu.
Areta memicingkan matanya, berusaha
melihat jelas siapa orang-orang yang mengelilingi cahaya itu.
“Nenek, Yu Tini .. dan ......yang lain
siapa ya?”
Areta berusaha tidak mengeluarkan suara,
hanya membatin dalam hati. Ada setidaknya tiga orang bertubuh tinggi besar berada
di sekitar sumber cahaya itu.
Putaran cahaya itu melambat, tapi
terangnya masih terus berpendar. Pendar cahaya yang ternyata berasal dari kedua
gading itu. Anehnya, cahaya justru terpusat di antara kedua gading.
Samar-samar, saat putaran materi cahaya itu berhenti, tampak sesosok kekar dan
tinggi muncul di tengah cahaya. Pada tubuh kekarnya itu, melekat baju besi yang
tampak kokoh, berwarna abu-abu, seperti baju prajurit perang jaman baheula. Ada
kelap-kelip seperti sinar laser beraneka warna, terpancar dari baju besi itu. Tetapi
yang menonjol adalah balutan besi mirip kalung yang melingkari lehernya. Ada
lampu berkedip-kedip sangat terang pada bagian depannya.
Sosok itu melangkah keluar dari pusat
cahaya, dan orang-orang yang mengelilingi, memberi jalan seraya mengangguk
hormat. Terdengar orang-orang bertubuh
besar berbicara pada sosok itu dengan bahasa yang aneh. Dan sosok itu pun
menjawab dengan bahasa yang sama anehnya. Seperti suara orang berbicara di
dalam air, atau lebih tepatnya seperti kaset yang pitanya terbelit di tape
recorder. Sosok itu membelakangi cahaya, hingga Areta tidak bisa melihat dengan
jelas bagaimana wujud detilnya. Selain hanya kedipan-kedipan lampu hijau dan
merah yang berada di beberapa bagian baju besinya.
Tiba-tiba, sosok itu berjalan.....menuju
Areta !
Review Gerbang Trinil oleh Aditia :
"salah satu kekuatan dari novel ini adalah penulisannya yang ngalir dan mudah dicerna. Pendeskripsian latarnya juga jelas dan detail, sehingga kerasa kental latar dunia yang teknologinya nggak dimiliki manusia.
Review selengkapnya disini
No comments