Resensi ini dimuat di kolom Perada, Koran Jakarta edisi Selasa, 21 Oktober 2014 (link di sini).
Untuk resensi yang saya repost di sini, adalah versi asli yang saya kirimkan ke redaktur, yang kemudian direvisi dan diedit seperlunya untuk keperluan publikasi di media tersebut.
--------------------------------------------------------
Mengalami pelecehan
seksual dan pemerkosaan, tak hanya meninggalkan jejak luka pada fisik sang
korban, tetapi lebih jauh lagi, membekaskan luka dan trauma psikis yang sangat
dalam. Luka yang sulit disembuhkan meski peristiwa itu telah berlalu selama belasan
tahun sekalipun.
Inilah yang dialami
Kaliluna, seorang gadis mantan atlet panahan, yang diperkosa seorang pria tak
dikenal saat ia tengah berlatih sampai malam hari di stadion menjelang
pertandingan panahan. Ketika itu, semua temannya sudah pulang. Tinggallah
Kaliluna seorang diri di stadion olahraga. Kaliluna bukan gadis penakut. Dia
biasa berlatih sampai malam. Namun saat dia bersiap-siap untuk pulang,
tiba-tiba tubuhnya terempas dan kepalanya membentur pintu loker, ia pusing dan
kehilangan keseimbangan. Sesuatu yang buruk sedang mendekat namun ia tidak
berdaya. Tubuhnya lemas karena mengalami benturan keras pada kepalanya. (hal.
58).
Akibat peristiwa itu, Kaliluna mengalami
perubahan psikis yang sangat drastis, dari seorang gadis ceria dan pemberani menjadi
gadis rapuh dan kehilangan semangat hidup. Kaliluna kerap dihantui mimpi buruk.
Ia juga mengalami trauma terhadap stadion dan alat panahan hingga langkah
prestasinya dalam dunia olahraga memanah pun, terhenti.
Kaliluna lalu
memutuskan untuk pergi ke Salamanca di Spanyol, tempat ibu kandungnya berada,
yang telah belasan tahun meninggalkannya. Tujuan Kaliluna adalah ingin
menghindar dan menjauh dari lingkungan yang diakrabinya. Dia ingin berada di
tempat asing bersama orang-orang asing yang tidak memedulikannya. Kaliluna berharap saat berada di lingkungan
baru bersama orang-orang asing termasuk ibunya, tak ada lagi yang akan
mengungkit lukanya dan ia pun tak lagi mengingat peristiwa kelam tersebut.
(hal. 63)
Tinggal bersama ibu
kandungnya yang telah lama terpisah ternyata tak membuat mereka menjadi dekat
dan akrab dalam waktu yang singkat. Kaliluna kerap mengurung diri, selalu
menghindar dan menolak setiap kebaikan ibunya, membuat sang ibu nyaris putus
asa menghadapi Kaliluna.
Di kota ini juga,
Kaliluna bertemu dan berkenalan dengan Ibai, seorang pemuda berdarah Vasco.
Pada awalnya, Kaliluna selalu menghindari Ibai. Sebaliknya, Ibai justru merasa
penasaran dengan Kaliluna yang kerap tampak murung dan menyendiri serta selalu
memperhatikan semak conyza.
Lama-kelamaan, keduanya
mulai akrab. Ibai jugalah yang kemudian membantu Kaliluna perlahan-lahan membebaskan
diri dari trauma masa lalunya termasuk mendorong Kaliluna untuk kembali
menekuni olahraga panahan. Proses ini
bukanlah hal yang mudah untuk Kaliluna. Sepanjang bulan April yang melelahkan, ia
hanya bisa bertahan lima menit setiap kali melihat latihan panahan. Namun Ibai terus mendukungnya tanpa lelah. Dia
memang keras kepala dan tak pernah menyerah. (hal. 195).
Kaliluna akhirnya
berhasil sembuh. Kesembuhan itu juga berdampak pada membaiknya hubungannya
dengan ibu kandungnya. Perasaan cinta dalam hati Ibai yang tumbuh terhadap
Kaliluna pun tak dapat dicegah, begitu pula sebaliknya. Namun, perasaan itu
terhalang oleh kedatangan Arya, kekasih Kaliluna saat berada di Indonesia. Arya
menginginkan Kaliluna kembali padanya. Berada pada posisi ini, mau tidak mau,
Kaliluna harus memilih, kembali pada Arya atau mempertahankan cintanya pada
Ibai.
Novel ini menampilkan
latar kota Salamanca dengan begitu detail dan indah, diantaranya keindahan Sungai
Tormes, dihiasi kutipan puisi Pablo Neruda dan ilustrasi-ilustrasi yang tak
kalah cantik. Pembaca juga akan diperkenalkan dengan kultur masyarakat Spanyol,
etnis yang ada di Spanyol, jenis bahasa daerah yang dipergunakan termasuk
kuliner khas Spanyol. Novel ini juga memberi banyak informasi tentang olahraga
panahan dan istilah-istilah di dalamnya.
Perjalanan hidup
Kaliluna dalam novel ini akan membuka fakta tentang kehancuran psikis yang
dialami oleh korban perkosaan, sekaligus
menggugah kesadaran bahwa trauma akibat peristiwa tersebut bisa disembuhkan
dengan kekuatan dan usaha keras dari sang korban juga dukungan penuh dari
lingkungan. Sebuah novel inspiratif yang layak dibaca.
Judul : Kaliluna ; Luka di
Salamanca
Penulis : Ruwi Meita
Penerbit :
Moka Media
Tahun : 2014
Hal : 270 hal
ISBN : 9797958541
No comments