Judul :
Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah
Penulis :
Tere Liye
Tebal :
512 hal
Penerbit :
GPU
Harga :
Rp.72.000,-
Terbit : Januari 2012
Apakah
Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah ini sama spesialnya dengan miliaran cerita
cinta lain? Sama istimewanya dengan kisah cinta kita? Ah, kita tidak memerlukan
sinopsis untuk memulai membaca cerita ini.
Demikian sepenggal
tulisan yang tertera pada back cover
novel ini. Ya. Ini memang novel tentang cinta. Novel yang mengusung sosok Borno
(berasal dari kata Borneo) sebagai tokoh sentralnya, seorang pemuda yang
digambarkan penulis sebagai ‘bujang berhati paling lurus sepanjang tepian
Kapuas’, dan setting cerita yang
sebagian besar mengambil lokasi di Pontianak khususnya tepian sungai Kapuas.
Kisah dibuka dengan
peristiwa yang dialami ayah Borno ketika Borno masih berusia dua belas tahun,
ayahnya yang tersengat ubur-ubur saat melaut memilih untuk mendonorkan
jantungnya pada seorang pasien gagal jantung hingga pilihan itu membawa
konsekuensi pada berakhirnya denyut nadi dan detak jantung ayah Borno.
Cerita kemudian
terlempar beberapa tahun kemudian, saat Borno menjalani lika-liku hidupnya
dengan bergonta-ganti pekerjaan, hingga dia bertemu seorang gadis peranakan bernama
Mei, yang kerap dideskripsikan penulis sebagai si pemilik “wajah sendu menawan”.
Ketika itu, Borno tengah menjalankan profesi sebagai seorang pengemudi sepit (sebutan masyarakat lokal untuk
perahu kayu bermesin tempel, di adaptasi dari bahasa asing speed). Penampilan gadis itu langsung memesona Borno pada pandangan
pertama, selain itu juga, sepucuk angpau merah yang tanpa diketahui Borno memang
sengaja ditinggalkan gadis itu pada bangku sepit turut memancing rasa penasaran
Borno. Sayang, angpau yang pada awalnya setengah mati dijaga oleh Borno agar
bisa dikembalikan pada pemiliknya itu, justru kemudian berbalik menjadi tak lagi
bermakna khusus saat Borno menyaksikan Mei yang tengah membagikan amplop serupa
pada pengemudi sepit dan pedagang warung di dermaga. Namun, penemuan sepucuk
angpau merah yang sengaja ditinggalkan itulah, menjadi momentum pembuka kisah
romantika antara Borno dan Mei. Isi angpau itu sendiri baru diketahui Borno lama
setelah penemuan itu.
Lantas, bagaimana
lika-liku hubungan cinta antara Borno dengan Mei? Apa sesungguhnya isi sepucuk
angpau merah itu? Akankah cinta Borno dan Mei berakhir dengan kebahagiaan atau
sebaliknya?
Dalam novel setebal 512
halaman ini, pembaca yang sejak awal sudah berekspektasi bahwa tema cinta akan
menjadi bahasan utama dalam novel ini, mungkin harus membangun ekstra kesabaran
untuk menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, karena novel ini tak
hanya melulu bicara soal cinta, melainkan juga menyajikan beragam kisah akan
perjuangan hidup, pengorbanan, dan sisi-sisi kehidupan masyarakat Pontianak
khususnya masyarakat tepian Kapuas, juga cerita seputar tokoh-tokoh lain yang turut
mewarnai novel ini.
Adalah ciri khas Tere
Liye, untuk selalu menuturkan adanya sebuah proses kehidupan di dalam
novel-novelnya. Proses yang pada umumnya digambarkan sebagai sebuah metamorfosa
tokoh utamanya saat memulai hidupnya dari masa-masa sulit hingga akhirnya
memperoleh kesuksesan.
Di dalam novel ini pun,
pembaca akan diajak menyusuri lika-liku, naik turun dan pahit getir perjalanan
seorang Borno saat menjalani berbagai bidang profesi, mulai dari karyawan
perusahaan karet, penjaga karcis kapal feri, pengemudi sepit, hingga akhirnya
ia sukses memiliki bengkel sendiri. Dalam proses inilah, melalui tokoh Borno,
penulis “menitipkan” pesan-pesan tentang pentingnya memelihara sifat jujur,
ketekunan dan kerja keras untuk bisa meraih kesuksesan.
Tak ketinggalan pula interaksi
Borno dengan tokoh-tokoh lainnya dalam novel ini, hikmah yang didapat Borno
dari peristiwa demi peristiwa yang dia alami bersama tokoh-tokoh tersebut, turut
dijadikan sarana penulis untuk menyampaikan nilai-nilai inspiratif melalui
penuturan yang ringan, deskripsi peristiwa yang lekat dengan kehidupan
sehari-hari hingga terasa akrab dan jauh dari kesan menggurui.
Adalah Pak Tua, tokoh
lain yang kapasitas perannya cukup dominan dalam cerita ini, tokoh yang menjadi
tempat penulis menitipkan pesan-pesan akan esensi kehidupan melalui petuah,
nasehat dan kalimat-kalimat bijak yang mengalir dari mulutnya saat memaknai
hikmah dari sebuah peristiwa.
Dibandingkan
novel-novel sebelumnya, novel Tere Liye kali ini “pengemasan”nya memang jauh lebih
ringan, juga kaya akan dialog cerdas, dibumbui oleh humor-humor menggelitik
saat memparodikan kehidupan, bernuansa lokalitas yang sangat kental, sehingga
dalam keseluruhan paketnya, novel ini berhasil mengajak pembaca mengalami
beragam pergantian emosi, tersenyum, tertawa geli, tertegun, kagum, juga
terharu. Novel ini juga minim konflik, berbeda dengan novel-novel Tere Liye terdahulu
yang justru menjadikan ketajaman konflik sebagai salah satu “andalan”nya.
Namun, minimnya konflik
tak lantas membuat novel ini jadi tak bertaji. Karena di sini, penulis mampu
menghadirkan penggambaran setting secara
detail, natural, melebur harmonis dengan segenap unsur pembangun cerita lainnya
sehingga pembaca akan merasa seolah-olah benar-benar berada di lokasi cerita, memperoleh
pengetahuan-pengetahuan baru tentang kultur masyarakat setempat dalam hal ini
masyarakat yang tinggal di tepian Kapuas termasuk sekilas pengetahuan akan
hal-hal terkait profesi-profesi Borno yang berhasil dideskripsikan secara apik
oleh penulis.
Kekuatan lainnya dari
novel ini juga terletak pada deskripsi karakter tokoh-tokohnya. Selain sosok
Borno dan Mei yang menjadi tokoh sentral cerita, pembaca juga akan diajak
berkenalan dengan tokoh-tokoh pendukung yaitu Pak Tua, Koh A Cong, Bang Togar,
Tulani, Andi, Sarah, dan lain-lain yang merepresentasikan beragam suku di tanah
air berikut kekhasan kultur dan sifat dari masing-masing suku tersebut.
Memang, jika dilihat
dari berbagai unsur, tidak ada teknik penyampaian yang benar-benar istimewa
digunakan penulis untuk membangun dan menuturkan kisah dalam novelnya kali ini.
Bahkan tema yang digunakan pun adalah tema yang selalu didaur ulang. Tema
tentang cinta antar dua insan. Lebih spesifiknya adalah tentang kekuatan cinta
pada pandangan pertama yang tetap tak tergoyahkan meski banyak lika-liku harus
dihadapi. Namun, ciri khas penulis yang selalu mewarnai novel-novelnya dengan
nuansa humanis inspiratif, selain kekuatan-kekuatan yang telah disebutkan
sebelumnya, menjadikan tema yang sangat biasa ini berhasil dikemas secara baik,
apik dan mengasyikkan untuk dibaca.
Kekuatan lain dari karya
Tere Liye adalah pada kepiawaiannya menggambarkan adegan filmis yang membuat
pembaca seolah-olah dapat merasakan langsung efek visual dari deskripsi adegan
tersebut. Tak heran jika satu demi satu novel Tere Liye layak diangkat ke layar
lebar atau pun layar kaca.
Untuk ending sendiri, kali ini Tere Liye menghadirkan
akhir yang menggantung, seolah sengaja membiarkan pembaca berpikir,
menerka-nerka dan memutuskan berdasarkan persepsi masing-masing.
Novel ini, boleh jadi
menjadi antitesis terhadap pakem novel cinta (roman) pada umumnya yang kini
menyerbu pasaran novel populer, yaitu novel yang menjadikan tema cinta sebagai
“penguasa” atas keseluruhan isi novel, dan kehadiran konflik serta alur lain di
luar urusan cinta hanya memegang peran sebagai pendukung cerita saja. Demikian
pula pada konsentrasi tokoh-tokohnya. Novel cinta (roman) pada umumnya berfokus
pada interaksi tokoh-tokoh utama yang terlibat dalam kisah cinta tersebut, dan
hanya memberi ruang secukupnya saja pada peran tokoh-tokoh lain.
Maka, hal sebaliknya dilakukan
penulis pada novel ini. Novel yang justru dengan bebas dan lentur bergerak
kesana kemari, membiarkan konflik dan alur cerita tokoh-tokoh lain terurai
dalam lembar-lembarnya sehingga jalinan kisah cinta kedua tokoh utama dalam
novel ini pun menjadi tak lagi dominan.
Bagi pembaca yang
menginginkan sajian kisah cinta dalam kemasan berbeda, atau pun menginginkan
ramuan kisah cinta yang lebih bergizi dan sarat makna, serta tidak peduli akan
standar romantisme dan pakem sebuah cerita cinta, novel ini adalah pilihan yang
tepat. Dan bagi para pembaca novel-novel Tere Liye khususnya, novel Kau, Aku,
dan Sepucuk Angpau Merah tetap tak kehilangan ciri khas seorang Tere Liye. Ciri
yang selama ini eksis dalam karya-karya beliau termasuk saat bertutur tentang
cinta. Menjadikan novel ini, lebih dari sekadar sebuah kisah cinta biasa.
salam kenal mbak... resensinya bagus, mau dong belajar.hehehe
ReplyDeleteSalam kenal juga:-) hehe, biasa aja koq, masih belajar juga:-)
ReplyDeleteMakasi resensinya, ya mbaak..
ReplyDeleteJual MURAH novel "Kau, Aku, dan Sepucuk Angpao Merah" karangan Tere Liye !
ReplyDelete(masih baru di dalam plastik)
Harga Normal: Rp97.000,-
Harga Diskon: Rp70.000,-
Cek page kami di tokopedia: https://www.tokopedia.com/sevenskiesbooks untuk daftar buku selengkapnya.
Salam,
Bofan (call/ sms/ whatsapp/ line: 0856-9169-0022)
Novel Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah versi pdf-nya bisa di download di link ini :
ReplyDeletehttps://myebooknovel.blogspot.com/2020/07/kau-aku-dan-sepucuk-angpau-merah-tere.html