Resensi :
Sudah berulang
kali, TKW negeri ini yang mengadu nasib di luar negeri mengalami nasib tragis,
mulai dari ditipu oleh agen, gaji yang tidak dibayar, disiksa, diperkosa bahkan
dibunuh. Namun semua itu tak menyurutkan tekad banyak orang, khususnya kaum
perempuan untuk tetap menjadi TKW, demi memperbaiki nasib dan meningkatkan
ekonomi keluarga di tanah air.
Demikian pulalah
yang dialami Dewi, saat mendaftar menjadi TKW demi memperbaiki ekonomi
keluarga, dan karena belum memenuhi persyaratan, maka syarat-syarat
administrasinya dipalsukan oleh agen.
Dokumen dan
surat-surat penting semua dipalsukan karena usiaku belum genap 17 tahun. Selain
itu aku tidak memiliki KK sebagai syarat mutlak. Namaku saja berubah menjadi
Nyi Penengah Dewanti. Aku harus mengaku berasal dari Jawa Barat, bukan Jawa
Tengah. Pihak kantor agen mewanti-wanti agar aku menghafal identitas baruku
(hal.8).
Saat
menginjakkan kaki ke Hongkong dan menjadi TKW, bertubi-tubi cobaan dan derita
dialami oleh Dewi, mulai dari bekerja sejak pagi hingga larut malam tanpa
henti, mendapat majikan yang kejam dan suka memukul, gaji yang dibawah standar,
jatah makan nasi hanya sekali sehari, ditipu sesama TKW hingga agen yang tak
bertanggung jawab.
Setiap aku
melakukan kesalahan, dia akan berkata seperti itu dan kata-kata kotor lainnya.
Puncak kemarahannya, waktu itu aku didorongnya menghantam tembok. Esok harinya,
kali ketiga memasak kailan aku masih juga salah. Sumpit yang dibawanya buat
mencicipi masakan dipukulkan ke pundakku dengan kasarnya. (hal. 69-70). Tidak
mudah bertahan menghadapi majikan yang cerewet, memperlakukanku seperti anjing,
memukulkan benda apa saja ketika dia marah. (hal.100).
Namun itu semua
tidak menyurutkan semangat dan kesabaran Dewi. Semua ia lakukan demi menghidupi keluarga yang
ia cintai. Demi menyekolahkan adikku. Demi bisa memiliki rumah. Demi bisa
membayar utang-utang peninggalan Bapak. Demi itu semua aku berusaha kuat dan
tegar dengan cobaan yang ditimpakan. Demi bisa makan dan asap dapur yang terus
mengepul. Demi mempertahankan nasib dan masa depan. Tidak ada alasan menyerah
pada keadaan. (hal. 26).
Berbagai
pengalaman pahit yang dialami Dewi sempat membuatnya gamang. Salah satu pilihan
tersulit adalah memutuskan menyerah atau berjuang lebih keras lagi. Aku memilih
opsi aman kedua. (hal. 107). Meski untuk pilihan itu, Dewi harus menghadapi
majikan yang lebih kejam dan beban pekerjaan yang jauh lebih berat.
Akhirnya, tiba
waktu untuk Dewi harus pulang ke tanah air. Disaat majikan terakhirnya tidak
lagi memperpanjang kontrak dan tugasnya menyekolahkan adiknya pun sudah
selesai. Pilihan yang ternyata mengantarkan Dewi pada sebuah dunia baru, yaitu
menjadi penulis. Berkat kegigihannya, tak kurang dari seratus antologi berhasil
ditulisnya, termasuk sebuah novel dan memoar yang berisi kisah perjalanan
hidupnya ini.
Inilah kisah
nyata yang mengajarkan arti kesabaran dan kegigihan. Dan sesungguhnya cobaan
itu memang diperuntukkan bagi orang-orang yang terpilih. Bukan tanpa sebab kita
diuji oleh musibah. Bukan sia-sia kita diberi cobaan. Segalanya memang
diperuntukkan untuk orang-orang yang masih memegang teguh keyakinan. (hal. 157).
Lewat memoar ini
juga turut membuka mata akan fakta dan luka yang dialami oleh sebagian besar
pahlawan devisa serta minimnya perlindungan hukum atas mereka. Padahal, merekalah
“pahlawan” yang berjuang untuk memperbaiki nasib keluarga dan turut pula
berkontribusi terhadap negara, namun tak jarang, pengorbanan mereka harus
dibayar dengan derita bahkan nyawa.
Judul : Promise, Love & Life
Penulis : Nyi Penengah Dewanti
Penerbit : Quanta
Tebal : 176 hal
Genre : Memoar
Terbit : September 2013
ISBN : 9786020220352
Harga : Rp.32.800,-
*) Resensi pernah dimuat di Koran Jakarta edisi 27 September 2013
bunda terima kasih banyak :'(
ReplyDelete